Jumat, 30 Januari 2015

INSTRUKTUR BERKEMAJUAN
Pentingnya Sebuah Keteladanan dalam diri seorang pemimpin sebagai seorang Pendidik
            Berawal dari sebuah kegelelisahan tentang sosok instruktur IMM Sleman yang kurang mampu untuk memberikan sebuah keteladanan dan suri tauladan. Keteladanan dianggap sangat penting karena dengan keteladanan itulah kewibawaan dari seorang instruktur dapat terbentuk. Keteladanan ini mencakup berbagai macam aspek dan ranah akademis, humanis, dan tentunya yang tak kalah penting adalah spiritual kegamaan.
Perlu dalam hal ini kita mencontoh apa yang telah dilakukan oleh rasulullah SAW dalam memimpin kaumnya. Selain ia berposisi sebagai kepala Negara, ia juga sebagai pendidik langsung bagi umatnya pada masa itu dalam menyampaikan firman Allah dan menjelaskannya dengan perbuatan dengan mencontohkan.
Dalam al Qur’an Allah berfirman :

لقد كان لكم فى رسول الله اسوة حسنة
Sesungguhnya telah ada dalam diri Rasulullah sebuah teladan yang baik.
(QS : Al Ahzab : 22)
Ada sebuah pepatah mengatakan : “satu teladan lebih baik dari pada seribu nasehat”. Pepatah ini mengatakan betapa pentingnya keteladanan agar pesan yang ingin disampaikan dapat tercapai dan ketika kita mengajak orang lain, orang lain akan dengan ikhlash mengikuti apa yang kita katakan dengan tulus hati. Karena tak jarang kemudian banyak orang tidak mau mengikuti nasehat seseorang karena seseorang yang memberi nasehat itu menurut pandangan orang yang diberi nasehat tidak memiliki sebuah kewibaan yang terpancar dari keteladanan yang ia perlihatkan.
Itulah kenapa Rasulullah SAW sebagai rahmatan lil ‘alamin sangat sukses dalam berdakwah dan menyebarkan ajaran agama Islam kepada kaum kafir Quraisy di masa itu yang terkenal sangat keras dan membenci Nabi Muhammad SAW. Lambat laun mereka sadar bahwa apa yang dikatakan dan disampaikan oleh Nabi Muhammad adalah benar adanya dan sampai sekarang diri seorang Nabi masih terhormat, baik di kalangan umat islam sendiri maupun di luar umat Islam yang justru meletakkan posisi Nabi Muhammad pada posisi pertama sebagai orang yang berpengaruh pada dunia.
Teladan yang diajarkan Nabi kepada kita sebagaimana dijelaskan di atas tentunya harus menjadi pedoman hidup. Apalagi di tengah meluasnya aksi kekerasan yang mengatasnamakan agama.[1]
Kemudian dalam surat yang lain Allah juga berfirman :
كبر مقتا عندالله ان تقولوا مالا تفعلون
Sungguh besar sekali kemurkaan di sisi Allah orang yang me
Dalam firman ini Allah dengan jelas menegaskan kembali tentang pentingnya keteladanan sebelum kita memerintahkan atau mengajak orang lain lain untuk berbuat baik. Pada kesempatan seorang pemimpin suatu lembaga, organisasi, yayasan dan tentunya adalah seorang instruktur dalam sebuah sistem pengkaderan adalah seseorang yang menempati posisi strategis dalam suatu organisasi pasti segala tindakan dan kelakuan yang ia perbuat akan menjadi cerminan bagi kader maupun calon kader yang dibimbingnya.
Memaknai Seorang Instruktur Berkemajuan
Kata instruktur memiliki makna orang yg bertugas mengajarkan sesuatu dan sekaligus memberikan latihan dan bimbingannya; pengajar; pelatih; pengasuh: seorang guru sangat diperlukan untuk menjadi -- di pusat pendidikan pertukangan itu (http://www. artikata.com/arti-330847-instruktur.html)
Dengan pengertian diatas maka bila ditarik sebuah pengertian yang lebih luas kemudian dapat dikatakan seorang instruktur adalah orang yang memiliki peran sebagaimana disebutkan. Namun, lebih dari itu, instruktur tidak hanya bertugas untuk mengajarkan dan menyampaikan materi–materi tersampaikan dan mereka paham sudah cukup, melainkan seoarang instruktur yang ideal juga memiliki tugas untuk senantiasa selalu membimbing, dan mengawasi orang–orang yang menjadi anggotanya. Menegur, dan selalu memberi nasehat, saran, dan masukan baik masih dalam masa bimbingannya maupun sudah lepas atau selesai dari tugasnya. Karena itu penting bagi seorang instruktur untuk membangun kewibawaan diri mereka dengan memiliki uswatun khasanah yang nantinya akan menjadi suri tauladan.
Instruktur berkemajuan atau bisa dikatakan instruktur visioner adalah orang yang memiliki karakter sebagaimana di jelaskan diatas. Memiliki karakter dan kepribadian yang unggul, visioner, dan kreatif serta inovatif yang hal ini bisa diraih dengan selalu berpikir secara rinci dan postif. Karena dengan itu lah kualitas karya dan kinerja ditentukan.[2] Maka jika hal itu telah ada dalam diri seorang pemimpin tentunya seseorang akan memiliki sebuah kewibawaan yang menunjang kesuksesan dalam memimpin sebuah organisasi dan mengarahkan serta membimbing anggota mereka.

Pemimpin Sebagai Seorang Pendidik
Pemimpin adalah sosok sentral dalam sebuah organisasi tentunya memiliki pengaruh yang amat besar dalam menentukan baik atau tidak baiknya suatu organisasi. Hal ini sebagaimana yang dicerminkan dalam diri Rasulullah SAW. Beliau selain sebagai seorang pemimpin umat Islam dan Negara, beliau juga bertindak sebagai seorang pendidik bagi umatnya yang menyampaikan wahyu dari Allah kepada untuk menyempurnakan akhlak kaumnya yang tidak bermoral dan menyimpang jauh dari koridor ketauhidan.
Dan dalam jangka waktu yang cukup singkat, 13 tahun setelah Nabi Muhammad diangkat menjadi Rasulullah SAW telah sukses mengarahkan kaumnya ke jalan yang diridhaiNya dengan memperbaiki kejahiliyahan moral yang dimiliki oleh kaum Quraisy.
Sebuah kunci kesuksesan yang dimiliki oleh Rasulullah kaitannya dalam berdakwah adalah Rasulullah sebagai Rahmatan Lil ‘alamin memiliki rasa kasih sayang dan kelembutan. Hal in ditegaskan kembali oleh Muh Anis bahwa pendidik harus memilki sifat rahmah atau kasih sayang kepada anak yang dididik. Karena  dengan suasana kasih sayang dan penuh kelembutan, orang akan memahami dan merasakan kasih sayang dan kelembutan, sehingga akan menumbuhkan sifat kasih sayang dalam dirinya.[3]
Pendidikan yang dilakukan dengan kasih sayang akan mempermudah transfer nilai dan ilmu, serta memperlancar proses pengembangan potensi, relasi antara pendidik dan peserta didik menjadi harmonis dan menyenangkan. Dengan dengan demikian maka hendaknya dalam diri seorang pemimpin sebagai seorang pendidik harus terdapat rasa kasih sayang dan kelembutan agar peserta didik (anggota organisasi) menjalankan segala macam aturan dan program organisasi dengan senang dan tulus hati sehingga tujuan-tujuan organisasi dapat tercapai karena kewibawaan pemimpin mereka yang terpancar dari keteladanan, dan kasih sayang mereka.
Peran Keteladanan Pemimpin Sebagai Seorang Pendidik
Di dalam tubuh pergerakan mahasiswa IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah) istilah instruktur seringkali digunakan pada proses pengkaderan khas IMM yaitu DAD (Darul Arqom Dasar) untuk menyebut orang yang memberikan pembelejaran atau pendidikan mengenai segala macam hal yang ada dalam tubuh pergerakan IMM yang mencakup beragam aspek secara intensif pada rentang waktu tertentu dan disampaikan secara komprehensif.
Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) adalah sebuah organisasi otonom di bawah Muhammadiyah. Latar belakang dari berdirinya IMM sendiri adalah utnuk membentuk motivasi idealisme, yaitu motif untuk mengembangkan ideologi Muhammadiyah, yaitu faham dan cita cita Muhammadiyah bahwa Muhammadiyah pada hakekatnya adalah sebuah wadah organisasi yang punya cita-cita atau tujuan yakni menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sebagai pergerakan  yang memiliki trilogi intelektualitas, religiusitas, humanitas sebagai ideologi. Dengan itu, maka untuk mencapai konsep trilogi diatas pastinya sangat diperlukan seorang instruktur yang mumpuni, visioner, dan berkemajuan guna mencapai cita-cita luhur tersebut.
Seorang instruktur yang berkemajuan (visioner) meruapakan instrument penting dalam sebuah bentuk pengkaderan. Karena tidak akan lahir seorang kader yang militan kecuali dari bimbingan seorang instruktur yang militan pula. Instruktur yang bisa bekerja sepenuh hati, ikhlash, dan memiliki semangat juang yang tinggi.
Mengutip dalam sebuah artikel yang dimuat pada laman pelajarberkemajuan.blogspot.com disitu tertulis bahwa gerakan pelajar –mahasiswa dan juga pelajar bukan mahasiswa- khittah yang dimiliki oleh mereka adalah seseorang yang memiliki peranan sentral dalam hal perubahan sebagai subjeknya yang kemudian dengan itulah akan tertegaskan bahwa dirinya adalah seorang yang berkemajuan yang membuat dirinya akan menjadi sang pencerah di masa yang akan datang. Pencerahan dalam ranah intelektualitas, humanitas, dan yang tak kalah pentingnya adalah religiusitas.
Instruktur  yang di sini juga berperan sebagai pemimpin yang berideologi kemajuan, merupakan sebuah gagasan penting untuk melahirkan pencerahan bagi kehidupan para kader yang mana Pencerahan (Tanwir) itu adalah sebagai wujud dari Islam yang berkemajuan adalah jalan Islam yang membebaskan, memberdayakan, dan memajukan dimana penggunaan akal pikiran dan ilmu pengetahuan sebagai instrumen kemajuan, berorientasi pada pencerdasan, pemberdayaan dan pembebasan :
Untuk mewujudkan kriteria yang diinginkan sebagai seorang pemimpin yang berperan sebagai seorang pendidik maka dalam segala kegiatan yang diselenggarakannya harus memperhatikan beberapa hal, yaitu :
1.     Pencerdasan
Pencerdasan adalah upaya perubahan sosial melalui proses dialog yang mencerdaskan dalam rangka mengentaskan kesalahan-kesalahan berpikir yang selama ini menelikung para pelajar. Karena, mustahil ada perubahan ke arah yang benar kalau kesalahan berpikir masih menjebak benak pelajar. Strategi persuasif-reedukatif ini dijalankan lewat pembentukan sikap, opini dan pandangan pelajar mengenai realitas sosial yang timpang di sekitarnya. Oleh karena itu, posisi idea; pandangan hidup, pandangan dunia dan nilai-nilai memiliki posisi yang sentral. Karena, penyebab utama perubahan adalah idea (ilmu). Idea memberikan banyak pengaruh terhadap perkembangan masyarakat sebagaimana Al-Qur’an yang melakukan perubahan sosial lewat idea. Upaya pencerdasan diarahkan pada kesadaran bahwa pelajar sebagai manusia dapat mempengaruhi perubahan sosial sehingga lahirlah kepribadian inovatif. Kepribadian yang memandang realitas dengan kritis, memiliki rasa ingin tahu/keterbukaan (inquisitive mind) dan melahirkan kritik, mempertanyakan te tang dirinya dengan realitas dunia sekitarnya dan keterlibatannya dalam mengubahnya menjadi lebih baik.
2.     Pemberdayaan
Pemberdayaan lahir dari hubungan tanpa dominasi antara orang yang akan melakukan pemberdayaan dan kaum pelajar. Hubungan tanpa dominasi terwujud dari sikap dialogis dalam hubungan dan komunikasi. Dialogis disertai dengan sikap kerendahan hati. Dialog sendiri merupakan perjumpaan diantara manusia dengan perantara dunia dan realitas. Hematnya, pemberdayaan melibatkan trilogi antara dua manusia: pelaku pemberdayaan dan kaum pelajar yang dipertemukan dalam perantara dunia realitas. Pemberdayaan sendiri merupakan suatu bentuk pengorganisasian sumber daya untuk melakukan perubahan, dengan mensyaratkan adanya sikap partisipatoris (sekaligus terlibat sebagai peserta) pelaku pemberdayaan dengan kaum pelajar. Ketentuan selanjutnya adalah kesamaan ide dan opini mengenai realitas yang akan membantu mendorong keterlibatan kolektif dalam perjuangan untuk perubahan kondisi yang lebih baik.
3.     Pembebasan
Islam sejatinya merupakan agama pembebasan. Kebenaran ini dapat ditemui dalam konsep Tauhid sebagai inti ajaran Islam yang mengandung dimensi pembebasan. Pembebasan yang dimaksud di sini adalah dupaya yang terintegrasi dan terkoordinir dalam rangka membebaskan kaum pelajar yang dari segala bentuk penindasan (intelektual), yang terlemahkan dalam pikiran dan termarjinalisasikan secara personal, kultural dan struktural dalam bingkai teologi transformatif Muhammadiyah, yakni teologi Al-Ma’un. Pembebasan dilakukan lewat proses keterlibatan secara langsung dalam upaya mewujudkan transformasi sosial. Keterlibatan ini dilakukan lewat proses mengagregasi kepentingan melalui pembentukan suatu program kebijakan yang didasarkan atas serangkaian kepentingan dan pandangan yang dipahami oleh IMM; serta mengartikulasikan kepentingan, dengan mengekspresikan dan mempublikasikan berbagai kebijakan yang dimaksudkan untuk mempengaruhi kebijakan stake holder (pemegang otoritas).
Dengan demikian maka hendaknya seorang pemimpin yang di sini juga berperan sebagai seorang pendidik haruslah memperhatikan segala tindak dan perangai mereka. Karena segala tindak tanduk dan kelakuan keseharian akan menjadi cerminan dan pandangan bagi anggota di bawahnya. Kalau seorang pemimpin selalu bisa memberikan teladan, maka dapat dipastikan semua anggotanya akan menjadi orang baik pula.
 [Dikutip dari berbagai sumber]
Daftar Pustaka
Al Qur’anul Karim
Anis. Muh. Drs, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan, Mentari Pustaka (Yogyakarta : 2012)
Casova, Fachmy. Habibi ; Tak Boleh Lelah dan Kalah, Tiga Serangkai Pustaka Mandiri (Solo : 2014)
Misrawi. Zuhairi,  Al Qur’an Kitab Toleransi,Pustaka OASIS (Jakarta : 2010).
http://pelajarberkemajuan.blogspot.com/2014/03/kepribadian-ikatan-pelajar-muhammadiyah.html




[1] Zuhairi Misrawi, Al Qur’an Kitab Toleransi,Pustaka OASIS (Jakarta : 2010), hal. 220
[2] Fachmy Casova. Habibi ; Tak Boleh Lelah dan Kalah, Tiga Serangkai Pustaka Mandiri (Solo : 2014), hal. 112
[3] Drs. Muh Anis, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan, Mentari Pustaka (Yogyakarta : 2012), hal. 205

Rabu, 17 April 2013


METODE MEMAHAMI AJARAN ISLAM (MUKTI ALI)
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
Dalam keseharian seiring dengan perkembangan paradigma (cara berpkir) dalam masyarayakat muncul pula berbagai metode pemikiran dalam memahami ajaran agama Islam baik itu ada yang tekstual maupun kontekstual,sekulari, pluralis dll.  Dengan itu, maka tak jarang dalam kehidupan bermasyarakat sering terjadi perbedaan pendapat mengenai ajaran agama islam dan pengaplikasiannya dalam masyarakat. Semua itu menjadi sebauah warna yang unik dalam perkembangan keilmuan agama Islam dari masa ke masa sejak zaman Nabi sampai zaman modern seperti saat ini.
Sebagai salah seorang yang berpengaruh karena beliau pernah menjabat sebagai Menteri Agama tentunya Mukti Ali juga banyak memberikan kontribusi pemikiran dan pendapat yang memberikan pencerahan dalam ranah pemikiran agama Islam. Diantaranya juga ada berbagai pendekatan yaitu pertama naqli (tradisional), yang kedua adalah pendekatan secara aqli (rasional) dan yang ketiga adalah pendekatan secara kasyfi (mistis). Maka untuk menyikapi beberapa warna pemikiran ini perlu diadakan studi Mukti Ali memberikan beberapa penawaran pemikiran agar dalam memahami ajaran agama Islam umat tidak akan tersesat dan memahami ajaran agama Islam dengan benar.
B.     Rumusan masalah
1.      Apa sajakah warna pemikiran mengenai cara memahami ajaran agama Islam ?
2.      Apa hasil pemikiran yang ditawarkan oleh Mukti Ali ?
3.      Apa Kritik Mukti Ali terhadap Metode Memahami Agama Islam di Indonesia ?
4.      Apa sajakah metode yang diutarakan Mukti Ali dalam pemikirannya ?






BAB II
PEMBAHASAN

A.    Biografi Singkat Prof. Dr. H. Abdul Mukti Ali
Prof. Dr. H. Abdul Mukti Ali (lahir di Cepu, 23 Agustus 1923). Beliau adalah mantan Menteri Agama Kabinet Pembangunan II periode 1973-1978. Sejak berumur delapan tahun, Mukti menjalani pendidikan Belanda di HIS. Ketika berumur 17 tahun, ia melanjutkan pendidikan di Pondok Pesantren Termas, Kediri, Jawa Timur. Mukti Ali kemudian melanjutkan studi ke India setelah perang dunia ke dua. Ia menyelesaikan pendidikan Islam di India dengan memperoleh gelar doktor sekitar tahun 1952. Setelah itu, ia melanjutkan kembali studinya ke McGill University, Montreal, Kanada mengambil gelarMA.
Semasa hidupnya, Mukti Ali telah menulis beberapa buku seperti : Beberapa Persoalan Agama Dewasa ini, Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia, Muslim Bilali dan Muslim Muhajir di Amerika, Ijtihad dalam Pandangan Muhammad Abduh, Ahmad Dahlan, Muhammad Iqbal, Ta`limul Muta`alim versi Imam Zarkasyi, Memahami Beberapa Aspek Ajaran Islam, Asal Usul Agama, dan Alam Pikiran Islam Modern .
Abdul Mukti Ali meninggal dunia dalam usia 81 tahun pada tanggal 5 Mei 2004, sekitar pukul 17.30 di Rumah Sakit Umum Dr. Sardjito, Yogyakarta. Jenazahnya dimakamkan di pemakaman keluarga besar Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga di Desa Kadisoko, Kecamatan Kalasan, Kabupaten Sleman.[1]

B.     Pengertian Metodologi
Menurut bahasa (etimologi), metode berasal dari bahasa Yunani, yaitu meta (sepanjang), hodos (jalan). Jadi, metode adalah suatu ilmu tentang cara atau langkah-langkah yang di tempuh dalam suatu disiplin tertentu untuk mencapai tujuan tertentu. Metode berarti ilmu cara menyampaikan sesuatu kepada orang lain. Metode juga disebut pengajaran atau penelitian.
Menurut istilah (terminologi), metode adalah ajaran yang memberi uraian, penjelasan, dan penentuan nilai. Metode biasa digunakan dalam penyelidikan keilmuan

Metode adalah suatu ilmu yang memberi pengajaran tentang sistem dan langkah yang harus ditempuh dalam mencapai suatu penyelidikan keilmuan. Dalam berbagai penelitian ilmiah, langkah-langkah pasti harus ditempuh agar kelogisan penelitian ilmiah benar-benar nyata dan dapat dipercaya semua masyarakat. Metode juga dapat diartikan sebagai cabang logika yang merumuskan dan menganalisis prinsip-prinsip yang tercakup dalam menarik kesimpulan logis untuk membuat konsep.[2]

C.    Pentingnya Mempelajari Metodologi
Mukti Ali mengatakan bahwa yang menentukan dan membawa stagnasi dan masa kebodohan atau kemajuan bukanlah karena ada atau tidak adanya orang-orang jenius, melainkan karena metode penelitian dan cara melihat sesuatu. Untuk ini kita dapat mengambil contoh yang terjadi pada abad keempat belas, lima belas dan enam belas Masehi. Aristoteles (384-322 SM) sudah tentu jauh lebih jenius dari Francis Bacon (1561-1626), dan plato (366-347 SM) adalah lebih jenius dari Roger Bacon (1214-1294). Dalam hal tersebut dua orang Bacon itu menjadi faktor dalam kemajuan sains, sekalipun kedua orang itu jauh lebih rendah jeniusnya dibandingkan dengan Plato dan Aristoteles, sedangkan orang-orang jenius itu tidak bisa membangkitkan Eropa abad pertengahan, bahkan menyebabkan stagnasi dan kemandegan.
Ada pertanyaan mengapa orang-orang jenius menyebabkan kemandegan dan stagnasi di dunia, sedangkan orang-orang yang biasa-biasa saja dapat membawa kemajuan-kemajuan ilmiah dan kebangkitan rakyat? Mukti Ali menjawab sebabnya adalah karena orang-orang yang biasa-biasa saja itu menemukan metode berpikir yang benar dan utuh, sekalipun kecerdasannya biasa, mereka dapat menemukan kebenaran. Sedangkan pemikir-pemikir jenius yang besar, apabila tidak mengetahui metode yang benar dalam melihat sesuatu dan memikirkan masalah-masalahnya, maka mereka tidak akan dapat memanfaatkan kejeniusannya.  Uraian tersebut sama sekali bukan dimaksudkan untuk merendahkan orang-orang jenius, melainkan yang ingin dikatakan bahwa untuk mencapai suatu kemajuan, kejeniusan saja belum cukup, melainkan harus dilengkapi dengan ketepatan memilih metode yang akan digunakan untuk kerjanya dalam bidang pengetahuan. Metode yang tepat adalah masalah pertama yang harus diusahakan dalam pelbagai cabang ilmu pengetahuan. Kewajiban pertama bagi setiap peneliti adalah memilih metode yang paling tepat untuk riset dan penelitiannya. Selain itu penguasaan metode yang tepat dapat menyebabkan seseorang mengembangkan ilmu yang dimilikinya. Sebaliknya mereka yang tidak menguasai metode hanya akan menjadi konsumen ilmu, dan bukan menjadi produsen.[3]

D.    Berbagai metode memahami ajaran Islam
Jika kita mempelajari cara orang mendekati dan memahami Islam, maka tanpa ada tiga cara yang jelas. Tiga pendekatan itu adalah pertama naqli (tradisional), yang kedua adalah pendekatan secara aqli (rasional) dan yang ketiga adalah pendekatan secara kasyfi (mistis). Saya rasa (Mukti Ali) tiga pendekatan ini sudah ada dalam pikiran Nabi Muhammad saw., dan terus dipergunakan oleh ulama-ulama Islam setelah beliau wafat. Kadang-kadang ada pendekatan yang sangat menonjol pada suatu ketika, kemudian surut dan diganti dengan pendekatan lain, tetapi bagaimana pun juga, meskipun dalam tingkatan yang berbeda-beda, tiga pendekatan itu terdapat dalam cara ulama-ulama Islam berusaha memahami agama Islam.[4]
Kewajiban para intelektual Muslim dewasa ini adalah untuk meyakini dan mengetahui islam sebagai agama yang memberikan hudan dan petunjuk pada manusia, baik individu maupun masyarakat, dan bahwa islam menjanjikan jalan lempang pada kehidupan umat manusia sekarang ini dan di masa-masa yang akan datang. Intelektual harus merenungkan dan menggali islam secara baru dari segi mana ia nelihat. Hal itu disebabkan karena islam adalah serba dimensi dan mempunyai berbagai macam aspek, hingga tiap orang yang berusaha memelajari Islam akan memeroleh pandangan dan petunjuk yang baru dari bidang studynya.[5]
Ada beberapa cara memahami ajaran Agama Islam, diantaranya yaitu:
1.      Metode Ilmiah
Dalam mempelajari dan mengetahui Islam kita kenal metode orang-orang Barat yang meneliti Islam, yaitu metode naturalis, psikologis, dan sosiologis. Kita harus memelajari metode-metode ilmiah yang digunakan oleh orang-orang Barat itu, akan tetapi bukan merupakan suatu keharusan untuk mengikuti metode-metode itu.
Dewasa ini metode-metode ilmiah dalam segala cabang ilmu pengetahuan telah mengalami perubahan, dan pendekatan-pendekatan baru telah ditemukan. Jadi metode-metode baru harus dipilih dalam penyelidikan tentang agama.
Islam adalah agama yang bukan mono- dimensi, oleh karena itu satu metode saja tidak cukup untuk mempelajari islam. Islam adalah bukan agama yang hanya didasarkan kepada intuisi mistis dari manusia dan terbatas pada hubungan antara manusia dengan Tuhan. Ini hanya merupakan salah satu dimensi dari agama Islam. Untuk mempelajari dimensi ini, metode filosofis harus digunakan, karena hubungan manusia dengan Tuhan dibahas dalam filsafat, dalam arti dalam pemikiran metafisis yang umum dan bebas. Dimensi lain dari agama islam adalah masalah kehidupan manusia di bumi ini. Untuk memahami dimensi ini harus dipergunakan metode-metode yang selama ini dipergunakan dalam ilmu alam. Lalu Islam juga suatu agama yang membentuk masyarakat dan peradaban . Untuk mempelajari dimensi ini maka metode sejarah dan sosiologi harus dipergunakan. 
Selain itu karena Islam adalah suatu agama maka metode-metode tersebut harus ditambah dengan  doktriner. Walau bagaimana pun mempelajari islam dengan segala aspeknya tidaklah cukup dengan metode ilmiah saja atau pun dengan jalan doktriner saja.[6]

2.      Metodologi Ali Syari’ati
Ali Syariati mencoba membandingkan agama dengan manusia. Cara untuk mengetahui manusia besar itu hanya ada dua jalan, dan kedua jalan itu harus dipergunakan bersamaan  untuk memeroleh hasil yang sebenarnya, yaitu mengerti orang yang dibahas itu. Cara yang pertama adalah penelitian tentang pikiran dan keyakinannya. Dan yang kedua adalah penelitian tentang biografinya sejak dari permulaan sampai akhir.
Begitu juga dengan Agama. Terdapat dua metode yang fundamental untuk memahaminya. Pertama adalah  mempelajari kitab sucinya, dalam Islam Al- Quran merupakan himpunan ide dan output ilmiah atau literer yang merupakan dasar dari ajaran- ajarannya yang ditawarkan kepada manusia. Adapun biografi agama adalah sejarahnya, untuk memahami Islam kita harus mempelajari sejarah islam  sejak dari permulaan misi Nabi Muhammad SAW hingga sekarang ini.[7]

3.      Metode Tipologi
Metode lain untuk memahami Islam yang diajukan Mukti Ali adalah Metode Tipologi. Metode ini oleh banyak ahli sosiologi dianggap objektif berisi klasifikasi topik dan tema sesuai dengan tipenya, lalu dibandingkan dengan topic dan tema yang mempunyai tipe yang sama. Pendekatan ini digunakan oleh sarjana-sarjana Barat untuk memahami ilmu-ilmu manusia. Dalam hal Agama Islam, juga agama-agama lain kita dapat mengidentifikasikan lima aspek atau ciri dari agama itu, lalu dibandingkan dengan aspek dan ciri yang sama dari agama-agama lain[8]:
a.      Aspek Ketuhanan
Agar dapat mengetahui lebih luas tentang Islam, yang perlu kita ketahui pertama adalah Tuhan. Untuk mengenal dengan betul cirri-ciri Tuhan, kita harus kembali kepada Al-Quran yang telah menerangkan dengan jelas sifat-sifat Tuhan, juga hadis Nabi, serta keterangan dari pemikir- pemikir besar Muslim dalam bidang itu. Lalu kita bandingkan konsepsi tentang Allah itu dengan tuhan dalam agama-agama lain.
b.      Aspek Kitab Suci
Tingkat kedua untuk mengetahui Islam adalah mempelajari Kitab sucinya yaitu Al-Quran. Orang harus mengetahui Al-Quran itu kitab apa dan masalah-masalah apa saja yang digarap oleh Al-Quran itu dan bagaimana caranya. Setelah itu kita bandingkan Al-Quran dengan kitab-kitab  suci agama lain.
c.       Aspek Kenabian
Tingkat ketiga dalam usaha untuk memahami agama Islam adalah mempelajari pribadi Nabi Muhammad saw. sebagai nabi dan membandingkannya dengan nabi-nabi dan pendiri- pendiri agama lain.
d.      Aspek Suasana dan Situasi dimana Nabi bangkit
Tingkat keempat untuk memahami Agama Islam adalah dengan meneliti waktu, suasana, dan situasi bangkitnya seorang nabi. Setelah itu membandingkan dengan situasi dan kondisi turunnya nabi pada agama lain. 
e.       Aspek Orang- orang terkemuka
Tingkat kelima dalam memahami agama Islam adalah dengan meneliti orang-oranng terkemuaka, atau individu-individu terpilih yang dihasilkan oleh agama itu. Misalnya keempat sahabat Nabi Muhammad saw. Dengan mempelajari kehidupan dan ide-ide empat orang tersebut kurang lebih dapat mewakili corak dan tingkatan masyarakat yangn pertama kali didakwahi oleh Nabi. Orang dapat memahami akibat-akibat yang ditimbulkan oleh risalah Nabi Muhammad.[9]
E.     Kritik Mukti Ali terhadap Metode Memahami Agama Islam di Indonesia
Metode mempelajari islam yang berlaku di Indonesia masih terbagi- bagi menjadi tauhid, fiqih, akhlak, tasawuf, tarikh, tafsir, hadis, dan sebagainya. Tiap cabang ilmu itu diajarkan sesuai dengan tingkatan orang yang diajar, lebih tinggi tingkatannya, lebih luas uraiannya. Meskipun tafsir Al- Quran dan Sejarah islam juga diajarkan, tetapi hanya sebagai bagian dari Ilmu Agama islam saja, jadi seperti cabang- cabang Ilmu agama Islam yang lain.
Hasilnya adalah pengetahuan tentang Islam yang tidak bulat.orang yang mendalami tasawuf seringkali menganggap remeg tentang fiqih, dan orang yang ahli fiqih tidak jarang merendahkan tasawuf. Begitu juga orang yang mendalami filsafat seringkali merendahkan antropologi, sosiologi, dan sebagainya, dan tidak jarang parng yang mendalami antropologi dan sosiologi memicingkan mata sebelah terhadap fiqih, hadis, dan sebagainya.
Menurut Mukti Ali hal ini sebenarnya tidak boleh terjadi. Islam harus dipahami secara bulat. Oleh karena itu, bagi metode studi Islam yang sudah terlanjur hendaknya  diajarkan Al-Quran dan Sejarah Islam secara komprehensif.  Dengan demikian kita dapat memperoleh pengetahuan tentang islam secara bulat dan utuh.
Mukti Ali yakin bahwa dengan itu kita akan dapat meletakkan dasar yang paling kokoh untuk ekspansi dan perkembangan pemikiran islam selain dari pada itu, dengan pengertian yang utuh terhadap islam akan membawa kita untuk memahami masyarakat secarautuh pula, dengan meluaskan jalan kearah pengokohan ummatan wahiddin, ummatut tauhid.[10]
Selain itu, selama ini, pendekatan terhadap agama Islam masih sangat pincang. Ahli-ahli Ilmu pengetahuan termasuk dalam hal ini para orientalis, mendekati Islam dengan Metode Ilmiah saja. Akibatnya ialah bahwa penelitiannya itu menarik tapi sebenarnya mereka tidak mengerti Islam secara utuh. Yang mereka ketahui hanya eksternalitis (segi-segi luar) dari Islam saja. Sebaliknya, para ulama kita sudah terbiasa memahami ajaran islam dengan doktriner dan dogmatis, yang sama sekali tidak dihubungkan dengan kenyataan-kenyataan hidup dalam  masyarakat. Akibatnya ialah penafsirannya itu tidak dapat diterapkan dimayarakat. Inilah sebabnya orang memiliki kesan bahwa Islam sudah ketinggalan jaman dan tidak sesuai dengan alam pembanngunan ini. Oleh karena itu menurut pendapat Mukti Ali keduanya baik pendekatan ilmiah maupun doktriner harus digunakan bersama. Pendekatan ini lah yang ia sebut dengan metode sintesis.[11]





BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
1.      Metode adalah suatu ilmu yang memberi pengajaran tentang sistem dan langkah yang harus ditempuh dalam mencapai suatu penyelidikan keilmuan.
2.      Penguasaan metode yang tepat dapat menyebabkan seseorang mengembangkan ilmu yang dimilikinya. Sebaliknya mereka yang tidak menguasai metode hanya akan menjadi konsumen ilmu, dan bukan menjadi produsen.
3.      Mempelajari islam dengan segala aspeknya tidaklah cukup dengan metode ilmiah saja atau pun dengan jalan doktriner saja karena Islam adalah suatu agama yang utuh.
4.      Terdapat dua metode yang fundamental untuk memahami agama Islam, yaitu harus mempelajari dua dasar yaitu Al Qur’an dan Assunnah
5.      Metode Tipologi oleh banyak ahli sosiologi dianggap objektif berisi klasifikasi topik dan tema sesuai dengan tipenya, lalu dibandingkan dengan topic dan tema yang mempunyai tipe yang sama yang nantinya dari sit akan mendapatkan pengetahuan yang menyeluruh.
6.      Menurut Mukti Ali Islam harus dipahami secara bulat. Oleh karena itu, bagi metode studi Islam yang sudah terlanjur hendaknya  diajarkan Al-Quran dan Sejarah Islam secara komprehensif.  Dengan demikian kita dapat memperoleh pengetahuan tentang islam secara bulat dan utuh.
                                                                                                                           




DAFTAR PUSTAKA
1.      http://pasaronlineforall.blogspot.com/2010/12/h-mukti-ali.html di unduh pada tgl 24-11-2012 pukul 12.30 WIB.
2.      Ali, A. Mukti. 1987. Metode Memahami Agma Islam. Jakarta: PT Bulan Bintang.
3.      Nata, H. Abuddin. 2009. Metodologi Studi Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
4.      Ali, A. Mukti. 1991. Memahami Beberapa Aspek Ajaran Islam. Yogyakarta: Mizan.














[1]msitadriskimia.blogspot.com/.../metodologi-pemahaman-islam-di-indonesia.html

[2]salafiahmodern.blogspot.com/.../metodologi-studi-islam_17.html
[3] H. Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam,  hal. 146-148
[4] A. Mukti Ali, Memahami Beberapa Aspek Ajaran Islam,(Yogyakarta: Mizan, 1991) hlm. 19
[5] Mukti Ali. Metode Memahami Agama Islam. hal 26
[6] Ibid Hal 31-32
[7] Ibid Hal 33-34
[8] H. Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, hal. 157-159
[9] Ibid Hal 37-43
[10] Ibid Hal 35-36
[11] Ibid Hal 32