Jumat, 30 Desember 2011

MASALAH DALAM PENDIDIKAN

A. Masalah Masalah Dalam Pendidikan Nasional

Pendidikan Nasional yang berjalan pada saat ini bukan tanpa masalah dan lancar-lancar saja. Akan tetapi, banyak gejolak dan berbagai permasalahan yang timbul dari berbagai sector. Berbagai solusi dan cara telah dicobakan kepada masyarakat untuk menyelesaikn segala masalah itu. Akan tetapi memang dari setiap apa yang diterapkan oleh pemerintah ternyata juga bisa menyelesaikannya. Beberapa masalah yang terjadi adalah ;

1. Ujian Nasional (UN)

Ujian Nasional sebagai subsistem dari sisitem Pendidikan Nasional dipandang sebagai salah satu cara untuk meningkatkan kualitas Pendidikan Nasional yang menerapkan system standar nasional. Prestasi belajar siswa diharapkan bisa meningkat setiap tahunnya karena standar minimal yang ditetapkan tiap tahun berbeda dan terus meningkat.

Dalam prespektif konflik UN malah justru dipandang sebagai pemicu terjadinya ketidak setaraan dalam masyarakat. Karena orang yang lulus dari seleksi UN otomatis mendapat sebuah modal yaitu kecerdasan yang dengan itu orang bisa menempati sebuah posisi strategis dalam masayarakat yang secara tidak langsung memang mempersempit ruang gerak dan posisinya dalam msayarakat. Secara ekstrimnya UN dipandang sebagai ladang seleksi individu. Kemudian akar masalah yang timbul adalah proses belaja selama 3 tahun harus dipertaruhkan dalam tiga hari. Padahal belum tentu mereka yang berhasil melewati pintu seleksi itu benar-benar tahu dan paham akan apa yang ditanyakan dan jawabannya?, atau mereka hanya kebetulan saja karena gambling yang ia lakukan tepat sasaran?. Padahal meraka yang tidak lulus itu belum tentu karena mereka memang benar-benar bodoh akan tetapi dari prespektif lain ada beberapa hal yang mungkin saja terjadi. (1) materi yang keluar dalam UN belum diajarkan, (2) factor psikologis, (3) sakit, (4) kurang teliti, (5) factor teknis, misalnya; tidak menghitamkan jawaban pada LJK dengan benar. Dan semua itu mungkin memang terjadi.

Implikasi sosial UN ;

1. Komersialisasi pendidikan, pada saat ini adalah moment yang memang pas untuk mencari keuntungan dengan mengadakan LBB. Dan ketika itu terjadi sebuah komersialisasi di mana biasanya masyarakat yang tidak mampu tidak bisa mengikuti bimbingan itu.

2. Ketimpangan Status Sosial, seorang guru pengampu materi UN mempunyai nilai jual tinggi dan bisa “lebih makmur”.

3. Dikotomi sekolah favorit dan non favorit, sekolah yang bisa meluluskan siswanya 100% akan dianggap sebagai sekolah favorit.

4. Persepsi salah tentang mata pelajaran

5. Diskriminasi pendidikan nonformal, direkomendasikannya untuk mengikuti kejar paket bagi yang tidak lulus

6. Penyimpangan hakikat dan tujuan pendidikan

7. Penyimpangan hakikat desentralisasi pendidikan,masalah materi yang diberikan kewenangan kepada tiap-tiap guru.

8. Pengkerdilan posisi siswa sebagai individu, kurang diharagainya keunikan dari masing-masing individu.

Setiap kesalahan yang terjadi ketika dilaksanakannya sebuah system pendidikan Nasional yang baru akan menjadikan siswa sebgai korbannya. Oleh karena itu mungkin ada beberapa solusi yang mungkin bisa diterapkan ;

1. Memperbaiki kualitas, dengan memperbaiki kualitas fasilitas sekolah, walaupun itu mungkin bukan satu-satunya.

2. Memperbaiki kurikulum, pengurangan beban materi yang disampaikan. Selain membebani guru sebenarnya itu juga sangat membebani siswa. Bahkan beban belajar siswa SD lebih berat dibandingkan Mahasiswa.

3. Rotasi guru, guru-guru di sekolah favorit berotasi dengan guru-guru disekolah nonfavorit. Di sekolah-sekolah favorit setidaknya ada dua factor yang saling mendukung. (1) input, siswa yang masuk pasti melalui seleksi ketat (anak-anak pilihan), (2) hasil kerja keras seorang guru.

2. Ketidaksetaraan Gender

Gender adalah suatu konsep yang membedakan antara laki-laki dan perempuan pada peran sosialnya dan pembedaan sifat yang didasarkan pada perbedaan diskontruksi oleh masyarakat. Prespektif fungsional tentang gender dalam pendidikan muncul dengan adanya suatu anggapan bahwa perempuan pada dasarnya hanya bertugas untuk mengurusi rumah. Oleh karena itu ada suatu anggapan lagi di masyrakat awam bahwa “buat apa perempuan sekolah tinggi-tinggi, jika nantinya akhirnya akan kembali ke rumah?”. Kemudian ada anggapan lagi bahwa perempuan itu selalu di bawah (di nomor duakan), wanita itu diharuskan untuk selalu tampil cantik, lemah lembut dan halus. Sedangkan laki-laki adalah sosok yang kuat yang akan melindungi wanita. Perempuan tidak dihargai melalui otak atau kecerdasan akan tetapi dari segi fisik. Dan sebaliknya, laki-laki dihargai karena kecerdasan otaknya. Oleh sebab itu, banyak perempuan yang tidak menempuh pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. [Durkheim – Haralambos dan Holborn].

Ada satu kasus lagi tentang masih adanya salah satu bias gender yaitu dalam buku ajar di pelajaran sd bahwa disitu tampak sekali bias gendernya. Dimana, hampir sebagian besar ilustrasi pada setiap gambar masih menunjukkan anak perempuan bekerja di rumah sedangkan laki-laki membantu ayahnya kerja di kebun. Selain berupa gambar penokohan selama ini menunjukkan bahwa permpuan adalah sosok yang lemah lembut, dan laki-laki adalah sosok yang kuat dan suka bekerja keras.

Akan tetapi akhir-akhir ini para peminat studi bias gender sudah bisa menemukan titik terangnya untuk mengangkat harkat dan martabat perampuan kearah kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Ada sebuah asumsi Feminisme Liberal adalah kebebasan (freedom) dan kesamaan (equality) yang berakar pada rasionalitas antara dunia privat dan public. Dalam hal ini mereka para studi bias gender mengatakan bahwa perempuan harus bersiap untuk bersaing dan menjadi perempuan dalam pembangunan (woman in development) dan perempuan diharapakan akan lebih dapat terlihat dalam pembagunan. [Fakih. 2004].

Kemudian, dengan ditemukannya suatu survey di Unsoed bahwa perempuan rata-rata bisa lebih cepat masa studinya dibandingkan dengan laki-laki. Perempuan adalah 8,7 semester dan laki-laki 9,8 semester. Dan hal ini jelas bahwasannya perempuan juga bisa berprestasi sebagaimana layaknya laki-laki.

Ketidaksetaraan gender dalam dunia pendidikan merupakan hasil sosialisasi individu dalam keluarga. Sekolah adalah miniature masyarakat, untuk itu apa yang terjadi di sekolah dapat mewakili apa yang sebenarnya terjadi di masyarakat. Perempuan selalu diposisikan pada pihak yang kurang beruntung dalam relasi gender ini. Perempuan selalu dianggap nomor dua dan posisinya di bawah laki-laki. Perempuan diasosiasikan sebagai sosok yang “feminim”, sedangkan laki-laki adalah sosok yang “maskulin”.

B. Kebijakan Bermasalah

Sebuah kebijakan yang diberikan pemerintah kepada pemerintah tentu sangat mempengaruhi system dan metode yang diterapkan kaitannya dalam nenggapai Tujuan Pendidikan Nasional yaitu mencerdaskan anak bangsa dan sesuai dengan prinsip Undang-Undang Dasar No 20 Tahun 2003 yaitu mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlaq mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab . Oleh karena itu pemerintah dituntut untuk dapat memberikan sebuah solusi yang efektif dan tepat demi tujuan dan cita-cita mulia tersebut.

Pendidikan Nasional memang tak henti-hentinya menuai berbagai permaslahan. Di usianya yang semakin senja, bangsa kita seolah-olah tidak pernah belajar dari pengalaman. Pendidikan nasional bukan lain merupakan suatu lading percobaan atas sebuah kebijakan. Tidakalah mengherankan bila di Negara kita ganti menteri, ganti juga kebijakannya. Ketika pemerintah melakukan perubahan kebijakan, tidak lain masyarakatlah yang dijadikan sebagai kelinci percobaan atas kebijakan-kebijakan baru. Siswa dan orang tua selalu menjadi korban keganasan sebuah kebijakan yang tidak pernah tepat untuk diimplementasikan.

Sejenak mengingat sejarah, bahwa pada tahun 1996 pemerintah mengganti nama SMA menjadi SMU. Hal ini diterapakan sebagai sebagai pembanding dengan SMK. Istilah SMEA, SMKK, dan STMpun disamakan menjadi SMK. Namun dalam beberapa tahun terakhir, ternyata istilah SMU dikembalikan lagi menjadi SMA. Dan sekarang yang menjadi pertanyaan adalah, itu merupakan kemajuan atau kemunduran ??. kemudian apa arti dan manfaat perubahan dari SMA menjadi SMU dan kemudian berubah lagi menjadi SMA?. Apakah dengan mengganti nama itu akan mengubah pendidikan kearah yang lebih baik?. Ternyata tidak juga.

Kemudian kebijakan pemerintah yang terkini adalah perubahan sebuah kurikulum. Dapat dikatakan bahwa hampir setiap beberapa tahun sekali aka ada perubahan kurikulum. Perubahan kurikulum menjadikan guru harus menyesuaikan dengan sebuah paradigma pendidikan baru untuk diimplementasikan. Dan tentu saja para guru harus mengikuti pelatihan agar terbiasa dengan kurikulum yang baru. Selain itu para peserta didik juga mengalami suatu gejolak dan berbagai macam masalah. Dalam hal ini yang paling menonjol adalah pergantian buku-buku pelajaran. Yang akibatnya akan berdampak pada si adik kelas yang tidak dapat memanfaatkan buku-buku milik kakak kelasnya karena isinya berbeda, mesikpun secara subtansi pada intinya artinya sama. Sampul atau kover ditambah dengan kalimat “Kurikulum Berbasis Kompetensi”. Maka harga buku biasanya naik dan terpaksa seorang siswa harus membeli buku baru.

Kurikulum berlabel KBK belum lama diberlakukan. Banyak guru yang belum memahami dengan baik makna dan bagaimana praktik KBK, namun pemerintah kembali meluncurkan kurikulum baru yaitu Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Dan pada hal ini para guru dan terlebih lagi para peserta didik menjadi kelinci percobaan. Bahkan ada sebuah anggapan bahwa “mereka” melakukan percobaan demi percobaan untuk merebut gelar Pahlawan pendidikan.

Pada hakikatnya memang pendidikan Nasional berada dalam tekanan. Beribu masalah yang melanda dunia pendidikan nasional. Dan tentu saja masalah itu tidak terlepas dari berbagai tekanan kekuatan yang melanda pendidikan nasional.

1. Tekanan untuk menerima gelombang globalisasi. Tekanan modernisasi dan globalisasi memaksa pemerintah untuk menyiapkan SDM yang berdaya saing di tingkat internasional. Segala kebijakanpun diarahkan untuk tujuan ini, maka dibentuklah tipe sekolah semacam SBI, bilingual atau kelas internasional. Pendidikan semacam ini ternyata memunculkan ketimpangan sosial, menciptakan ketidak merataan akses pendidikan.

2. Kondisi sosial ekonomi Indonesia yang belum mapan [stabil]. Banyaknya masayarakat yang berada di bawah garis kemiskinan adalah pekerjaan yang sulit diatasi. Pendidikan dan kondisi adalah dua factor yang memiliki kedudukan yang sejajar. Dua factor yang saling mempenagruhi. Untuk itu, kedua komponen tadi harus diberikan perhatian yang serius dengan tidak mempertimbangkan mana yang harus diprimerkan, mana yang harus disekunderkan. Satu hal yang harus kita pegang teguh dan dijadikan acuan adalah; “pendidikan adalah kunci perdaban. Tanpa pendidikan, kemajuan suatu bangsa akan sulit untuk diraih”

3. Budaya KKN yang sulit dihapus. Mentalitas korup juga turut memperparah implementasikan kebijakan di bidang pendidikan. Berbagai kebijakan seringkali mentah, tidak menghasilkan manfaat apapun, bahkan justru merugikan berbagai pihak. Terutama masayarakat menengah ke bawah. Sebenarnya sudah ada suatu Kebijakan yang cukup melegakan masyarakat menengah ke bawah terutama bagi mereka yang secara akademik mempunyai prestasi yang baik yaitu sekolah gratis. Namun, para birokrat yang bermental korup adalah sebauah mimpi buruk bagi mereka masyarakat yang sangat berharap pada kebijakan tadi. Selain itu juga adanya sebuah lembaga pendidikan yang tidak mengimplementasikan kebijakan tadi dengan benar. Meskipun pemerintah menggratiskan sekolah negeri, namun kenyataannya di lapangan sering kali jauh dari harapan. Sekolah negeri yang seharusnya gratis ternyata masih memberlakukan berbagai pungutan liar dengan berbagai alasan. Masalah ini kadang kala masih diperparah dengan mekanisme penerimaan siswa didik baru yang tidak sesuai dengan aturan, misalnya dalam masalah tranparansi. Banyak sekolah yang tidak transparan dalam mengumumkan hasil seleksi penerimaan siswa baru, misalnya melalui amplop atau surat. Mekanisme ini sangat rawan dengan tindak kecurangan atau bahkan KKN. Yang terparah adalah masyarakat tidak memahami secara mendalam makna sebuah pendidikan, mereka lebih mengejar status dari pada subtansi pendidikan itu sendiri. Mereka bahkan rela merogoh kantongnya lebih dalam agar anaknya dapat diterima di sekolah favorit dan unggulan yaitu dengan memasukkan anak mereka ke sekolah yang dikehendaki dengan “jalur belakang”

Ketiga faktor diatas memang memperburuk masalah pendidikan nasional. Boleh dikatakan bahwa memang pendidikan berbeda dengan sector lain. Pendidikan adalah asset, modal pembangunan yang sangat besar. Ketika pendidikan itu diposisikan sebagai sebuah modal maka hasil proses pendidikan tidak secara instant dapat dirasakan keuntungannya. Perlu waktu yang cukup lama untuk dapat menuai hasil dari modal yang telah diinvestasikan lewat suatu pendidikan.

C. Sebuah Solusi Untuk Kebijakan Nasional

Ada satu hal yang harus diperhatikan dalam perumusan kebijakan, yaitu aspek sosiolologis masyarakat. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang sangat plural baik secara vertical maupun horizontal. Secara vertical, terkait dengan masalah ekonomi, pelapisan sosial. Secara horizontal, meliputi masalah kepentingan pribadi dan kelompok, perbedaan kondisi sosial dan budaya. Kepentingan inilah yang sering menyebabkan kebijakan di sector pendidikan sulit diimplementasikan. Kepentingan disini juga termasuk kepentingan elit politik. Banyak kelompok tertentu yang memanfaatkan keuntungan melalui sector pendidikan ini. Budaya, terkait dengan masalah mentalitas masyarakat yang sebagian besar masyarakat lebih menyukai budaya instant. “Yang penting dapat nilai baik, dapat ijazah dan lulus”. Mentalitas inilah yang harusnya menjadi bahan pemikiran. Keberadaan mentalitas ini sebenarnya dilegimitasi oleh adanya kebijakan pemerintah sendiri. Kebijakan ini misalanya mengenai ujian nasional. System ujian ini lebih terpaku pada pada hasil bukan pada proses. Aspek penilaian seharusnya lebih memperhatikan dan melihat proses dan bukan hasil dari proses tersebut. Sekali lagi pendidikan adalah proses pengembangan kemampuan dan perilaku manusia secara keseluruhan [G Terry Page dkk].

Itulah beberapa catatan yang harus mendapat perhatiana dari para penentu kebijakan. Satu hal yang tidak dapat dilupakan adalah harus ada political will dari pembuat kebijakan. Janganlah sebuah kebijakan hanya dijadikan alat untuk meraih kepentingan dari sekelompok orang saja.

Sumber referensi

Martono Nanang, Pendidikan Bukan Tanpa Masalah. Gaya media, Yogyakarta.2011

Selasa, 13 Desember 2011

Iman, Islam, dan Ihsan.

Dari Umar rodhiyallohu’anhu juga, beliau berkata: Pada suatu hari ketika kami duduk di dekat Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam, tiba-tiba muncul seorang laki-laki yang berpakaian sangat putih dan rambutnya sangat hitam. Pada dirinya tidak tampak bekas dari perjalanan jauh dan tidak ada seorangpun diantara kami yang mengenalnya. Kemudian ia duduk di hadapan Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam, lalu mendempetkan kedua lututnya ke lutut Nabi, dan meletakkan kedua tangannya di atas kedua pahanya, kemudian berkata: ”Wahai Muhammad, terangkanlah kepadaku tentang Islam.” Kemudian Rosululloh shollallohu’alaihi wasallam menjawab: ”Islam yaitu: hendaklah engkau bersaksi tiada sesembahan yang haq disembah kecuali Alloh dan sesungguhnya Muhammad adalah utusan Alloh. Hendaklah engkau mendirikan sholat, membayar zakat, berpuasa pada bulan Romadhon, dan mengerjakan haji ke rumah Alloh jika engkau mampu mengerjakannya.” Orang itu berkata: ”Engkau benar.” Kami menjadi heran, karena dia yang bertanya dan dia pula yang membenarkannya. Orang itu bertanya lagi: ”Lalu terangkanlah kepadaku tentang iman”. (Rosululloh) menjawab: ”Hendaklah engkau beriman kepada Alloh, beriman kepada para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para utusan-Nya, hari akhir, dan hendaklah engkau beriman kepada taqdir yang baik dan yang buruk.”Orang tadi berkata: ”Engkau benar.” Lalu orang itu bertanya lagi: ”Lalu terangkanlah kepadaku tentang ihsan.” (Beliau) menjawab: “Hendaklah engkau beribadah kepada Alloh seolah-olah engkau melihat-Nya. Namun jika engkau tidak dapat (beribadah seolah-olah) melihat-Nya, sesungguhnya Ia melihat engkau.” Orang itu berkata lagi: ”Beritahukanlah kepadaku tentang hari kiamat.” (Beliau) mejawab: “Orang yang ditanya tidak lebih tahu daripada yang bertanya.” Orang itu selanjutnya berkata: ”Beritahukanlah kepadaku tanda-tandanya.” (Beliau) menjawab: ”Apabila budak melahirkan tuannya, dan engkau melihat orang-orang Badui yang bertelanjang kaki, yang miskin lagi penggembala domba berlomba-lomba dalam mendirikan bangunan.” Kemudian orang itu pergi, sedangkan aku tetap tinggal beberapa saat lamanya. Lalu Nabi shollallohu ’alaihi wasallam bersabda: ”Wahai Umar, tahukah engkau siapa orang yang bertanya itu ?”. Aku menjawab: ”Alloh dan Rosul-Nya yang lebih mengetahui.” Lalu beliau bersabda: ”Dia itu adalah malaikat Jibril yang datang kepada kalian untuk mengajarkan agama kalian.”(HR. Muslim).

Kedudukan Hadits
Materi hadits ke-2 ini sangat penting sehingga sebagian ulama menyebutnya sebagai “Induk sunnah”, karena seluruh sunnah berpulang kepada hadits ini.

Islam, Iman, dan Ihsan
Dienul Islam mencakup tiga hal, yaitu: Islam, Iman dan Ihsan. Islam berbicara masalah lahir, iman berbicara masalah batin, dan ihsan mencakup keduanya.
Ihsan memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari iman, dan iman memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari Islam. Tidaklah ke-Islam-an dianggap sah kecuali jika terdapat padanya iman, karena konsekuensi dari syahadat mencakup lahir dan batin. Demikian juga iman tidak sah kecuali ada Islam (dalam batas yang minimal), karena iman adalah meliputi lahir dan batin.

Perhatian!
Para penuntut ilmu semestinya paham bahwa adakalanya bagian dari sebuah istilah agama adalah istilah itu sendiri, seperti contoh di atas.

Iman Bertambah dan Berkurang
Ahlussunnah menetapkan kaidah bahwa jika istilah Islam dan Iman disebutkan secara bersamaan, maka masing-masing memiliki pegerttian sendiri-sendiri, namun jika disebutkan salah satunya saja, maka mencakup yang lainnya. Iman dikatakan dapat bertambah dan berkurang, namun tidaklah dikatakan bahwa Islam bertambah dan berkurang, padahal hakikat keduanya adalah sama. Hal ini disebabkan karena adanya tujuan untuk membedakan antara Ahlussunnah dengan Murjiáh. Murjiáh mengakui bahwa Islam (amalan lahir) bisa bertambah dan berkurang, namun mereka tidak mengakui bisa bertambah dan berkurangnya iman (amalan batin). Sementara Ahlussunnah meyakini bahwa keduanya bisa bertambah dan berkurang.

Istilah Rukun Islam dan Rukun Iman
Istilah “Rukun” pada dasarnya merupakan hasil ijtihad para ulama untuk memudahkan memahami dien. Rukun berarti bagian sesuatu yang menjadi syarat terjadinya sesuatu tersebut, jika rukun tidak ada maka sesuatu tersebut tidak terjadi.Istilah rukun seperti ini bisa diterapkan untuk Rukun Iman, artinya jika salah satu dari Rukun Iman tidak ada, maka imanpun tidak ada. Adapun pada Rukun Islam maka istilah rukun ini tidak berlaku secara mutlak, artinya meskipun salah satu Rukun Islam tidak ada, masih memungkinkan Islam masih tetap ada.

Demikianlah semestinya kita memahami dien ini dengan istilah-istilah yang dibuat oleh para ulama, namun istilah-istilah tersebut tidak boleh sebagai hakim karena tetap harus merujuk kepada ketentuan dien, sehingga jika ada ketidaksesuaian antara istilah buatan ulama dengan ketentuan dien, ketentuan dien lah yang dimenangkan.

Batasan Minimal Sahnya Keimanan

1. Iman kepada Allah.
Iman kepada Allah sah jika beriman kepada Rububiyyah-Nya, uluhiyyah-Nya, dan asma’ dan sifat-Nya.

2. Iman kepada Malaikat.
Iman kepada Malaikat sah jika beriman bahwa Allah menciptakan makhluk bernama malaikat sebagai hamba yang senantiasa taat dan diantara mereka ada yang diperintah untuk mengantar wahyu.

3. Iman kepada Kitab-kitab.
Iman kepada kitab-kitab sah jika beriman bahwa Allah telah menurunkan kitab yang merupakan kalam-Nya kepada sebagian hambanya yang berkedudukan sebagai rasul. Diantara kitab Allah adalah Al-Qurán.

4. Iman kepada Para Rasul.
Iman kepada para rasul sah jika beriman bahwa Allah mengutus kepada manusia sebagian hambanya mereka mendapatkan wahyu untuk disampaikan kepada manusia, dan pengutusan rasul telah ditutup dengan diutusnya Muhammad shallallaahu álaihi wa sallam.

5. Iman kepada Hari Akhir.
Iman kepada Hari Akhir sah jika beriman bahwa Allah membuat sebuah masa sebagai tempat untuk menghisab manusia, mereka dibangkitkan dari kubur dan dikembalikan kepada-Nya untuk mendapatkan balasan kebaikan atas kebaikannya dan balasan kejelekan atas kejelekannya, yang baik (mukmin) masuk surga dan yang buruk (kafir) masuk neraka. Ini terjadi di hari akhir tersebut.

6. Iman kepada Taqdir.
Iman kepada taqdir sah jika beriman bahwa Allah telah mengilmui segala sesuatu sebelum terjadinya kemudian Dia menentukan dengan kehendaknya semua yang akan terjadi setelah itu Allah menciptakan segala sesuatu yang telah ditentukan sebelumnya.

Demikianlah syarat keimanan yang sah, sehingga dengan itu semua seorang berhak untuk dikatakan mukmin. Adapun selebihnya maka tingkat keimanan seseorang berbeda-beda sesuai dengan banyak dan sedikitnya kewajiban yang dia tunaikan terkait dengan hatinya, lesannya, dan anggota badannya.

Taqdir Buruk
Buruknya taqdir ditinjau dari sisi makhluk. Adapun ditinjau dari pencipta taqdir, maka semuanya baik.

Makna Ihsan
Sebuah amal dikatakan hasan cukup jika diniati ikhlas karena Allah, adapun selebihnya adalah kesempurnaan ihsan. Kesempurnaan ihsan meliputi 2 keadaan:

1. Maqom Muraqobah yaitu senantiasa merasa diawasi dan diperhatikan oleh Allah dalam setiap aktifitasnya, kedudukan yang lebih tinggi lagi.

2. Maqom Musyahadah yaitu senantiasa memperhatikan sifat-sifat Allah dan mengaitkan seluruh aktifitasnya dengan sifat-sifat tersebut.

PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA

SEJARAH PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA DAN KEDUDUKAN HUKUM ISLAM DALAM HUKUM DI INDONESIA

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah

Akar sejarah hukum Islam di kawasan nusantara menurut sebagian ahli sejarah dimulai pada abad pertama hijriyah, atau pada sekitar abad ketujuh dan kedelapan masehi. Sebagai gerbang masuk ke dalam kawasan nusantara, kawasan utara pulau Sumatera-lah yang kemudian dijadikan sebagai titik awal gerakan dakwah para pendatang muslim. Secara perlahan, gerakan dakwah itu kemudian membentuk masyarakat Islam pertama di Peureulak, Aceh Timur. Berkembangnya komunitas muslim di wilayah itu kemudian diikuti oleh berdirinya kerajaan Islam pertama di Tanah air pada abad ketiga belas. Kerajaan ini dikenal dengan nama Samudera Pasai. Ia terletak di wilayah Aceh Utara.
Pengaruh dakwah Islam yang cepat menyebar hingga ke berbagai wilayah nusantara kemudian menyebabkan beberapa kerajaan Islam berdiri menyusul berdirinya Kerajaan Samudera Pasai di Aceh. Tidak jauh dari Aceh berdiri Kesultanan Malaka, lalu di pulau Jawa berdiri Kesultanan Demak, Mataram dan Cirebon, kemudian di Sulawesi dan Maluku berdiri Kerajaan Gowa dan Kesultanan Ternate serta Tidore.

Kesultanan-kesultanan tersebut sebagaimana tercatat dalam sejarah, itu tentu saja kemudian menetapkan hukum Islam sebagai hukum positif yang berlaku. Penetapan hukum Islam sebagai hukum positif di setiap kesultanan tersebut tentu saja menguatkan pengamalannya yang memang telah berkembang di tengah masyarakat muslim masa itu. Fakta-fakta ini dibuktikan dengan adanya literatur-literatur fiqh yang ditulis oleh para ulama nusantara pada sekitar abad 16 dan 17. Dan kondisi terus berlangsung hingga para pedagang Belanda datang ke kawasan nusantara.



BAB II
PEMBAHASAN

A. Hukum Islam pada Masa Penjajahan Belanda

Cikal bakal penjajahan Belanda terhadap kawasan nusantara dimulai dengan kehadiran Organisasi Perdagangan Dagang Belanda di Hindia Timur, atau yang lebih dikenal dengan VOC. Sebagai sebuah organisasi dagang, VOC dapat dikatakan memiliki peran yang melebihi fungsinya. Hal ini sangat dimungkinkan sebab Pemerintah Kerajaan Belanda memang menjadikan VOC sebagai perpanjangtangannya di kawasan Hindia Timur. Karena itu disamping menjalankan fungsi perdagangan, VOC juga mewakili Kerajaan Belanda dalam menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan. Tentu saja dengan menggunakan hukum Belanda yang mereka bawa.

Dalam kenyataannya, penggunaan hukum Belanda itu menemukan kesulitan. Ini disebabkan karena penduduk pribumi berat menerima hukum-hukum yang asing bagi mereka. Akibatnya, VOC pun membebaskan penduduk pribumi untuk menjalankan apa yang selama ini telah mereka jalankan.
Kaitannya dengan hukum Islam, dapat dicatat beberapa “kompromi” yang dilakukan oleh pihak VOC, yaitu:

- Dalam Statuta Batavia yag ditetapkan pada tahun 1642 oleh VOC, dinyatakan bahwa hukum kewarisan Islam berlaku bagi para pemeluk agama Islam.
- Adanya upaya kompilasi hukum kekeluargaan Islam yang telah berlaku di tengah masyarakat. Upaya ini diselesaikan pada tahun 1760. Kompilasi ini kemudian dikenal dengan Compendium Freijer.
- Adanya upaya kompilasi serupa di berbagai wilayah lain, seperti di Semarang, Cirebon, Gowa dan Bone.
Di Semarang, misalnya, hasil kompilasi itu dikenal dengan nama Kitab Hukum Mogharraer (dari al-Muharrar). Namun kompilasi yang satu ini memiliki kelebihan dibanding Compendium Freijer, dimana ia juga memuat kaidah-kaidah hukum pidana Islam. Pengakuan terhadap hukum Islam ini terus berlangsung bahkan hingga menjelang peralihan kekuasaan dari Kerajaan Inggris kepada Kerajaan Belanda kembali. Setelah Thomas Stanford Raffles menjabat sebagai gubernur selama 5 tahun (1811-1816) dan Belanda kembali memegang kekuasaan terhadap wilayah Hindia Belanda, semakin nampak bahwa pihak Belanda berusaha keras mencengkramkan kuku-kuku kekuasaannya di wilayah ini. Bila ingin disimpulkan, maka upaya pembatasan keberlakuan hukum Islam oleh Pemerintah Hindia Belanda secara kronologis adalah sebagai berikut :

Pada pertengahan abad 19, Pemerintah Hindia Belanda melaksanakan Politik Hukum yang Sadar; yaitu kebijakan yang secara sadar ingin menata kembali dan mengubah kehidupan hukum di Indonesia dengan hukum Belanda. Atas dasar nota disampaikan oleh Mr. Scholten van Oud Haarlem, Pemerintah Belanda menginstruksikan penggunaan undang-undang agama, lembaga-lembaga dan kebiasaan pribumi dalam hal persengketaan yang terjadi di antara mereka, selama tidak bertentangan dengan asas kepatutan dan keadilan yang diakui umum. Klausa terakhir ini kemudian menempatkan hukum Islam di bawah subordinasi dari hukum Belanda.

Atas dasar teori resepsi yang dikeluarkan oleh Snouck Hurgronje, Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1922 kemudian membentuk komisi untuk meninjau ulang wewenang pengadilan agama di Jawa dalam memeriksa kasus-kasus kewarisan (dengan alasan, ia belum diterima oleh hukum adat setempat). Pada tahun 1925, dilakukan perubahan terhadap Pasal 134 ayat 2 Indische Staatsregeling (yang isinya sama dengan Pasal 78 Regerringsreglement), yang intinya perkara perdata sesama muslim akan diselesaikan dengan hakim agama Islam jika hal itu telah diterima oleh hukum adat dan tidak ditentukan lain oleh sesuatu ordonasi. Lemahnya posisi hukum Islam ini terus terjadi hingga menjelang berakhirnya kekuasaan Hindia Belanda di wilayah Indonesia pada tahun 1942.


B. Hukum Islam pada Masa Pendudukan Jepang
Setelah Jendral Ter Poorten menyatakan menyerah tanpa syarat kepada panglima militer Jepang untuk kawasan Selatan pada tanggal 8 Maret 1942, segera Pemerintah Jepang mengeluarkan berbagai peraturan. Salah satu diantaranya adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1942, yang menegaskan bahwa Pemerintah Jepag meneruskan segala kekuasaan yang sebelumnya dipegang oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda. Ketetapan baru ini tentu saja berimplikasi pada tetapnya posisi keberlakuan hukum Islam sebagaimana kondisi terakhirnya di masa pendudukan Belanda.
Meskipun demikian, Pemerintah Pendudukan Jepang tetap melakukan berbagai kebijakan untuk menarik simpati umat Islam di Indonesia. Diantaranya adalah:

1. Janji Panglima Militer Jepang untuk melindungi dan memajukan Islam sebagai agama mayoritas penduduk pulau Jawa.

2. Mendirikan Shumubu (Kantor Urusan Agama Islam) yang dipimpin oleh bangsa Indonesia sendiri.

3. Mengizinkan berdirinya ormas Islam, seperti Muhammadiyah dan NU.

4. Menyetujui berdirinya Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) pada bulan oktober 1943.

5. Menyetujui berdirinya Hizbullah sebagai pasukan cadangan yang mendampingi berdirinya PETA.

6. Berupaya memenuhi desakan para tokoh Islam untuk mengembalikan kewenangan Pengadilan Agama dengan meminta seorang ahli hukum adat, Soepomo, pada bulan Januari 1944 untuk menyampaikan laporan tentang hal itu.
Namun upaya ini kemudian “dimentahkan” oleh Soepomo dengan alasan kompleksitas dan menundanya hingga Indonesia merdeka. Dengan demikian, nyaris tidak ada perubahan berarti bagi posisi hukum Islam selama masa pendudukan Jepang di Tanah air. Namun bagaimanapun juga, masa pendudukan Jepang lebih baik daripada Belanda dari sisi adanya pengalaman baru bagi para pemimpin Islam dalam mengatur masalah-masalah keagamaan. Abikusno Tjokrosujoso menyatakan bahwa, Kebijakan pemerintah Belanda telah memperlemah posisi Islam.


C. Hukum Islam Pada Masa Kemerdekaan (1945)

Perdebatan panjang tentang dasar negara di BPUPKI kemudian berakhir dengan lahirnya apa yang disebut dengan Piagam Jakarta. Kalimat kompromi paling penting Piagam Jakarta terutama ada pada kalimat “Negara berdasar atas Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Menurut Muhammad Yamin kalimat ini menjadikan Indonesia merdeka bukan sebagai negara sekuler dan bukan pula negara Islam.

Dengan rumusan semacam ini sesungguhnya lahir sebuah implikasi yang mengharuskan adanya pembentukan undang-undang untuk melaksanakan Syariat Islam bagi para pemeluknya. Tetapi rumusan kompromis Piagam Jakarta itu akhirnya gagal ditetapkan saat akan disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh PPKI. Ada banyak kabut berkenaan dengan penyebab hal itu. Tapi semua versi mengarah kepada Mohammad Hatta yang menyampaikan keberatan golongan Kristen di Indonesia Timur. Hatta mengatakan ia mendapat informasi tersebut dari seorang opsir angkatan laut Jepang pada sore hari taggal 17 Agustus 1945. Namun Letkol Shegeta Nishijima satu-satunya opsir AL Jepang yang ditemui Hatta pada saat itu- menyangkal hal tersebut. Ia bahkan menyebutkan justru Latuharhary yang menyampaikan keberatan itu. Keseriusan tuntutan itu lalu perlu dipertanyakan mengingat Latuharhary bersama dengan Maramis, seorang tokoh Kristen dari Indonesia Timur lainnya- telah menyetujui rumusan kompromi itu saat sidang BPUPKI. Pada akhirnya, di periode ini, status hukum Islam tetaplah samar-samar. Isa Ashary mengatakan, kejadian mencolok mata sejarah ini dirasakan oleh umat Islam sebagai suatu ‘permainan sulap’ yang masih diliputi kabut rahasia…suatu politik pengepungan kepada cita-cita umat Islam.

Hukum Islam pada Masa Kemerdekaan Periode Revolusi Hingga Keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1950. Selama hampir lima tahun setelah proklamasi kemerdekaan, Indonesia memasuki masa-masa revolusi (1945-1950). Menyusul kekalahan Jepang oleh tentara-tentara sekutu, Belanda ingin kembali menduduki kepulauan Nusantara. Dari beberapa pertempuran, Belanda berhasil menguasai beberapa wilayah Indonesia, dimana ia kemudian mendirikan negara-negara kecil yang dimaksudkan untuk mengepung Republik Indonesia. Berbagai perundingan dan perjanjian kemudian dilakukan, hingga akhirnya tidak lama setelah Linggarjati, lahirlah apa yang disebut dengan Konstitusi Indonesia Serikat pada tanggal 27 Desember 1949.

Dengan berlakunya Konstitusi RIS tersebut, maka UUD 1945 dinyatakan berlaku sebagai konstitusi Republik Indonesia yang merupakan satu dari 16 bagian negara Republik Indonesia Serikat. Konstitusi RIS sendiri jika ditelaah, sangat sulit untuk dikatakan sebagai konstitusi yang menampung aspirasi hukum Islam. Mukaddimah Konstitusi ini misalnya, samasekali tidak menegaskan posisi hukum Islam sebagaimana rancangan UUD 1945 yang disepakati oleh BPUPKI. Demikian pula dengan batang tubuhnya, yang bahkan dipengaruhi oleh faham liberal yang berkembang di Amerika dan Eropa Barat, serta rumusan Deklarasi HAM versi PBB.

Namun saat negara bagian RIS pada awal tahun 1950 hanya tersisa tiga negara saja RI, negara Sumatera Timur, dan negara Indonesia Timur, salah seorang tokoh umat Islam, Muhammad Natsir, mengajukan apa yang kemudian dikenal sebagai “Mosi Integral Natsir” sebagai upaya untuk melebur ketiga negara bagian tersebut. Akhirnya, pada tanggal 19 Mei 1950, semuanya sepakat membentuk kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Proklamasi 1945. Dan dengan demikian, Konstitusi RIS dinyatakan tidak berlaku, digantikan dengan UUD Sementara 1950. Akan tetapi, jika dikaitkan dengan hukum Islam, perubahan ini tidaklah membawa dampak yang signifikan. Sebab ketidakjelasan posisinya masih ditemukan, baik dalam Mukaddimah maupun batang tubuh UUD Sementara 1950, kecuali pada pasal 34 yang rumusannya sama dengan pasal 29 UUD 1945, bahwa “Negara berdasar Ketuhanan yang Maha Esa” dan jaminan negara terhadap kebebasan setiap penduduk menjalankan agamanya masing-masing. Juga pada pasal 43 yang menunjukkan keterlibatan negara dalam urusan-urusan keagamaan. Kelebihan lain dari UUD Sementara 1950 ini adalah terbukanya peluang untuk merumuskan hukum Islam dalam wujud peraturan dan undang-undang. Peluang ini ditemukan dalam ketentuan pasal 102 UUD sementara 1950. Peluang inipun sempat dimanfaatkan oleh wakil-wakil umat Islam saat mengajukan rancangan undang-undang tentang Perkawinan Umat Islam pada tahun 1954. Meskipun upaya ini kemudian gagal akibat “hadangan” kaum nasionalis yang juga mengajukan rancangan undang-undang Perkawinan Nasional. Dan setelah itu, semua tokoh politik kemudian nyaris tidak lagi memikirkan pembuatan materi undang-undang baru, karena konsentrasi mereka tertuju pada bagaimana mengganti UUD Sementara 1950 itu dengan undang-undang yang bersifat tetap.

Perjuangan mengganti UUD Sementara itu kemudian diwujudkan dalam Pemilihan Umum untuk memilih dan membentuk Majlis Konstituante pada akhir tahun 1955. Majelis yang terdiri dari 514 orang itu kemudian dilantik oleh Presiden Soekarno pada 10 November 1956. Namun delapan bulan sebelum batas akhir masa kerjanya, Majlis ini dibubarkan melalui Dekrit Presiden yang dikeluarkan pada tanggal 5 Juli 1959. Hal penting terkait dengan hukum Islam dalam peristiwa Dekrit ini adalah konsiderannya yang menyatakan bahwa “Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni menjiwai UUD 1945” dan merupakan “suatu kesatuan dengan konstitusi tersebut”. Hal ini tentu saja mengangkat dan memperjelas posisi hukum Islam dalam UUD, bahkan menurut Anwar Harjono lebih dari sekedar sebuah “dokumen historis”.
Namun bagaiamana dalam tataran aplikasi? Lagi-lagi faktor-faktor politik adalah penentu utama dalam hal ini. Pengejawantahan kesimpulan akademis ini hanya sekedar menjadi wacana jika tidak didukung oleh daya tawar politik yang kuat dan meyakinkan. Hal lain yang patut dicatat di sini adalah terjadinya beberapa pemberontakan yang diantaranya “bernuansakan” Islam dalam fase ini. Yang paling fenomenal adalah gerakan DI/TII yang dipelopori oleh Kartosuwirjo dari Jawa Barat. Kartosuwirjo sesungguhnya telah memproklamirkan negara Islamnya pada tanggal 14 Agustus 1945, atau dua hari sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Namun ia melepaskan aspirasinya untuk kemudian bergabung dengan Republik Indonesia. Tetapi ketika kontrol RI terhadap wilayahnya semakin merosot akibat agresi Belanda, terutama setelah diproklamirkannya Negara boneka Pasundan di bawah kontrol Belanda, ia pun memproklamirkan berdirinya Negara Islam Indonesia pada tahun 1948. Namun pemicu konflik yang berakhir di tahun 1962 dan mencatat 25.000 korban tewas itu, menurut sebagian peneliti, lebih banyak diakibatkan oleh kekecewaan Kartosuwirjo terhadap strategi para pemimpin pusat dalam mempertahankan diri dari upaya pendudukan Belanda kembali, dan bukan atas dasar apa yang mereka sebut dengan “kesadaran teologis-politis”nya.

D. Hukum Islam di Era Orde Lama dan Orde Baru

Mungkin tidak terlalu keliru jika dikatakan bahwa Orde Lama adalah eranya kaum nasionalis dan komunis. Sementara kaum muslim di era ini perlu sedikit merunduk dalam memperjuangkan cita-citanya. Salah satu partai yang mewakili aspirasi umat Islam kala itu, Masyumi harus dibubarkan pada tanggal 15 Agustus 1960 oleh Soekarno, dengan alasan tokoh-tokohnya terlibat pemberontakan (PRRI di Sumatera Barat). Sementara NU –yang kemudian menerima Manipol Usdek-nya Soekarno[27]- bersama dengan PKI dan PNI kemudian menyusun komposisi DPR Gotong Royong yang berjiwa Nasakom. Berdasarkan itu, terbentuklah MPRS yang kemudian menghasilkan 2 ketetapan, salah satunya adalah tentang upaya unifikasi hukum yang harus memperhatikan kenyataan-kenyataan umum yang hidup di Indonesia. Meskipun hukum Islam adalah salah satu kenyataan umum yang selama ini hidup di Indonesia, dan atas dasar itu Tap MPRS tersebut membuka peluang untuk memposisikan hukum Islam sebagaimana mestinya, namun lagi-lagi ketidakjelasan batasan “perhatian” itu membuat hal ini semakin kabur. Dan peran hukum Islam di era inipun kembali tidak mendapatkan tempat yang semestinya.
Menyusul gagalnya kudeta PKI pada 1965 dan berkuasanya Orde Baru, banyak pemimpin Islam Indonesia yang sempat menaruh harapan besar dalam upaya politik mereka mendudukkan Islam sebagaimana mestinya dalam tatanan politik maupun hukum di Indonesia. Apalagi kemudian Orde Baru membebaskan bekas tokoh-tokoh Masyumi yang sebelumnya dipenjara oleh Soekarno. Namun segera saja, Orde ini menegaskan perannya sebagai pembela Pancasila dan UUD 1945. Bahkan di awal 1967, Soeharto menegaskan bahwa militer tidak akan menyetujui upaya rehabilitasi kembali partai Masyumi.

E. Hukum Islam di Era Reformasi

Meskipun kedudukan hukum Islam sebagai salah satu sumber hukum nasional tidak begitu tegas di masa awal Orde ini, namun upaya-upaya untuk mempertegasnya tetap terus dilakukan. Hal ini ditunjukkan oleh K.H. Mohammad Dahlan, seorang menteri agama dari kalangan NU, yang mencoba mengajukan Rancangan Undang-undang Perkawinan Umat Islam dengan dukungan kuat fraksi-fraksi Islam di DPR-GR. Meskipun gagal, upaya ini kemudian dilanjutkan dengan mengajukan rancangan hukum formil yang mengatur lembaga peradilan di Indonesia pada tahun 1970. Upaya ini kemudian membuahkan hasil dengan lahirnya UU No.14/1970, yang mengakui Pengadilan Agama sebagai salah satu badan peradilan yang berinduk pada Mahkamah Agung. Dengan UU ini, dengan sendirinya menurut Hazairin, hukum Islam telah berlaku secara langsung sebagai hukum yang berdiri sendiri. Penegasan terhadap berlakunya hukum Islam semakin jelas ketika UU no. 14 Tahun 1989 tentang peradilan agama ditetapkan. Hal ini kemudian disusul dengan usaha-usaha intensif untuk mengompilasikan hukum Islam di bidang-bidang tertentu. Dan upaya ini membuahkan hasil saat pada bulan Februari 1988, Soeharto sebagai presiden menerima hasil kompilasi itu, dan menginstruksikan penyebarluasannya kepada Menteri Agama.
F. Hukum Islam Dalam Sistem Tatanan Hukum Di Indonesia

Hukum islam merupakan bagian dari agama islam yang pelaksanaanya diatur berdasarkan syari’at islam. Syari’at sebagaimana dijelaskan pada lembaran awal, adalah mengatur mengatur mengenai hubungan manusia dengan tuhan dan manusia dengan sesame. Oleh karena hukum tidak mengenal pengaturan lahiriyah antara manusia dengan tuhan ( ibadat ) bila dilihat dari ilmu fiqh, maka yang dapat dimasukkan kedalam hokum islam itu adalah bagian muammalat dari syariat. Bahkan hanya sebagian keccil saja yang telah menjadi bagian dari hukum ( positif ) Indonesia. ( saidus Syahar, 1986 : 110 ).
Muammalat menurut kitab-kitab fiqh yang ada meliputi :
1. Munakahat dengan segala aspek yang terkait didalamnya
2. Fara’idh ( pembagian harta pusaka / waris )
3. Jinayat ( hukum pidana )
4. Jihad ( hukum perang )
5. Buyu’ ( hukum jual beli termasuk didalamnya syarat dan rukunnya )
6. Syarikat ( perseroan )
7. Al-hilafah ( hukum tata Negara )
8. Aqdhiyah ( hukum acara ). ( sulaiman rasyid, 1976 )
Diantara materi hukum islam diatas, yang telah masuk sebagian hukum Indonesia hanyalah bagian “ Munakhat ” untuk seluruh Indonesia, dan “ Fara’idh ” untuk sebagian Indonesia. Munakhat ini berlakunya berdasarkan UU No 22 tahun 1946 yang mengatur pendaftaran atau pencatatan nikah, talaq, rujuk dan disempurnakan UU No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Sedangkan hukum faraidh berlaku berdasarkan UU No 45 tahun 1957, sedangakan diluar jawa dan Madura masih menggunakan hukum adat masing-masing. Perlu diketahui bahwa “ peradilan agama ” merupakan peradilan luar biasa yang tetap ada dan diakui hingga sekarang sesuaia dengan UU Darurat No 1 tahun 1951 tentang tindakan-tindakan sementara untuk menyelenggarakan peradilan sipil. Bagian hokum positif Indonesia, sebagaimana anatara lain dinyatakan oleh ordinasi dan peraturan pemerintah yang mengatur peradilan agama diatas dan yang ditunjuk oleh undang-undang pokok perkawinan terbaru ( UU No 1 Tahun 1974 ).
BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Era reformasi yang penuh keterbukaan tidak pelak lagi turut diwarnai oleh tuntutan-tuntutan umat Islam yang ingin menegakkan Syariat Islam. Bagi penulis, ide ini tentu patut didukung. Namun sembari memberikan dukungan, perlu pula kiranya upaya-upaya semacam ini dijalankan secara cerdas dan bijaksana.
Karena menegakkan yang ma’ruf haruslah juga dengan menggunakan langkah yang ma’ruf. Disamping itu, kesadaran bahwa perjuangan penegakan Syariat Islam sendiri adalah jalan yang panjang dan berliku, sesuai dengan sunnatullah-nya. Karena itu dibutuhkan kesabaran dalam menjalankannya. Sebab tanpa kesabaran yang cukup, upaya penegakan itu hanya akan menjelma menjadi tindakan-tindakan anarkis yang justru tidak sejalan dengan kema’rufan Islam.
Proses “pengakraban” bangsa ini dengan hukum Islam yang selama ini telah dilakukan, harus terus dijalani dengan kesabaran dan kebijaksanaan. Disamping tentu saja upaya-upaya penguatan terhadap kekuatan dan daya tawar politis umat ini. Sebab tidak dapat dipungkiri, dalam sistem demokrasi, daya tawar politis menjadi sangat menentukan sukses-tidaknya suatu tujuan dan cita-cita.





DAFTAR PUSTAKA

Bahtiar Effendy, Islam dan Negara (Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia), Paramadina, Jakarta, Oktober 1998.
Jimly Ashshiddiqie, Hukum Islam dan Reformasi Hukum Nasional, Seminar Penelitian Hukum tentang Eksistensi Hukum Islam dalam Reformasi Sistem Nasional, Jakarta, September 2000.
Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam dalam Konstitusi-konstitusi Indonesia dan Peranannya dalam Pembinaan Hukum Nasional, Pusat Studi Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Jakarta, Mei 2005.

EKSPLORASI AL QUR'AN dan HADITS TENTANG AKHLAQ

Eksplorasi Al-Qur’an Dan Hadis Dalam Akhlak Bergaul

Eksplorasi Al-Qur’an dan Hadits mengenai akhlak dalam bergaul sangatlah perlu dilakukan, mengingat Al Qur’an adalah pedoman hidup bagi orang muslim. Secara langsungnya Nabi Muhammad dibimbing langsung oleh Allah dengan wahyu Allah sehingga Nabi Muhammad memiliki budi pekerti yang agung. Seperti dalam Firman Allah,

وَاِنَكَ لَعَلَي خُلُقٍ عَظِيْمٍ

“Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung” (QS. Al-Qalam (68) : 4)

Dari itulah Nabi Muhammad atas ijin Allah diutus untuk menjadi suri tauladan yang baik dan member petunjuk akan jalan yang lurus.

وَاِنٌَكَ لَتَهْدِيْ اِلَي صِرَاطٍ مُسْتَقِيْمٍ

“Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (QS. Asy-Syura (42) : 52)

Salah satu diantara penyempurnaan akhlak yang dicontohkan Nabi Muhammad ialah juga dalam keseharian Nabi ialah kesabaran beliau, diantara Firman Allah,

وَاصْبِرْ وَمَا صَبْرُكَ اِلاٌَبِاللٌَهِ

“Bersabarlah (hai Muhammad) dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah.” (QS. An-Nahl (16) : 127)

فَاصْبِرْ عَلَي مَا يَقُوْلُوْنَ

“maka sabarlah kamu atas apa yang mereka katakan.” ( QS. Taahaa (20) : 130)

Selain kesabaran, beliau ialah seorang yang rendah diri, adapun hadis yang disabdakan oleh beliau,

اِنٌَمَا اَنَا عبد اكل كما ياكل العبد واجلس كما يجلس العبد

“Sesungguhnya aku hanyalah seorang hamba yang makan sebagaimana seorang hamba makan dan duduk sebagaimana seorang hamba duduk.” (Hadits diketengahkan oleh Ibnu Abu ‘Ashim dalam Az-Zuhd 1/6, Ibnu Sa’d dalam Ath-Thabaqaat 1/37 dan lihat Kasyful 1/17)

Dalam konteks rendah diri, tentunya Nabi Muhammad juga mengharamkan kita bertakabbur. Dalam sabdanya,

يحشر المتكبرون يوم القيامة في صورة الذريغشاهم الذل من كل مكان

“Orang-orang yang takabur akan dihimbaukan pada hari kiamat nanti dalam bentuk seperti semut-semut yang paling kecil diliputi oleh kehinaan dari segala penjuru.” (Hadis diketengahkan oleh Imam Ahmad 6639 dan Imam Tirmidzi 2492. Kasyful Khafa 3236)

Kita juga dianjurkan untuk menjadi orang yang pemaaf,

فَاصْفَحِ الصٌَفْحَ الْجَمِيْلَ

“Maka maafkanlah (mereka) dengan cara yang baik.” ( QS. Al-Hijr (15) : 85)

Larangan marah,

وَالْكَا ظِمِيْنَ الْغَيْظَ وَالْعَافِيْنَ عَنِ النٌَاسِ

“Dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang.” (QS. Ali Imran (3) : 134)

Dan masih banyak lagi eksplorasi Al-Qur’an dan hadis mengenai akhlak bergaul dan berperilaku.

Secara umum dibagi menjadi dua yaitu ;

A. AKHLAQ TERPUJI

1. Tolong Menolong

Dalam Al Qur’an surat Al-Anfaal (Al-Anfal) [8] : ayat 74 Allah berfirman ;

http://bahagia.us/_latin/8/8_74.png

“Dan orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad pada jalan Allah, dan orang-orang yang memberi tempat kediaman dan memberi pertolongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itulah orang-orang yang benar-benar beriman. Mereka memperoleh ampunan dan rezeki (nikmat) yang mulia.”

Senantiasa tolong menolong dalam hal kebaikan merupakan sebuah ibadah asalkan kita melakukannya dengan tulus ikhlas. Karena pertolongan Allah akan senantiasa datang kepada hambaNYA yang selalu menolong sesama mereka. Kita hanya dianjurkan oleh Allah untuk senantiasa tolong menolong dalam hal kebaikan dan dilarang untuk tolong menolong dalam ha kemaksiatan.

Dalam firmanNYA disebutkan; http://bahagia.us/_latin/5/5_80.png

“Kamu melihat kebanyakan dari mereka tolong-menolong dengan orang-orang yang kafir (musyrik). Sesungguhnya amat buruklah apa yang mereka sediakan untuk diri mereka, yaitu kemurkaan Allah kepada mereka; dan mereka akan kekal dalam siksaan.” (QS. (Al-Maidah) [5] : ayat 80)

Dianjurkannya tolong menolong dalam hal kebaikan juga disebutkan dalam firmanNYA ;

http://bahagia.us/_latin/9/9_71.png

“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. At-Taubah [9] : ayat 71)

Firman diatas memberikan penjelasan bahwa orang yang selalu tolong menolong sesama mereka dalam hal kebaikan akan senantiasa diberikan rahmat oleh Allah. Tidak hanya mementingkan keperluan sendiri (egois). Bahkan tolong menolong itu lebih diutamakan dari pada hanya beribadah demi kepentingan sendiri.

Dalam Al Qur’an Surat. Al-Baqarah [2] : ayat 177 disebutkan ;

http://bahagia.us/_latin/2/2_177.png

“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.”

2. Persaudaraan Islami ( Ukhuwah Islamiyah)

I. Pengertian Ukhuwah Islamiyah.

Ukhuwah yang biasa diartikan sebagai “persaudaraan”, terambil dari akar kata yang pada mulanya berarti “memperhatikan”. Makna asal ini memberi kesan bahwa persaudaraan mengharuskan adanya perhatian semua pihak yang merasa bersaudara. Masyarakat Muslim mengenal istilah Ukhuwah Islamiyah. Istilah ini perlu disederhanakan maknanya, agar bahasan kita tentang ukhuwah tidak mengalami kerancauan. Untuk itu, terlebih dahulu perlu dilakukan tinjauan kebahasaan untuk menetapkan kedudukan kata Islamiyah dalam istilah diatas. Selama ini ada kesan bahwa istilah teresebut bermakna “persaudaraan yang dijalin oleh sesama muslim”, atau dengan kata lain , kata “islamiyahdijadikan sebagai pelaku ukhuwah itu. Pemahaman ini kurang tepat. Kata Islamiyah yang dirangkaikan dengan kata ukhuwah lebih tepat dipahami sebagai adjekti, sehingga ukhuwah islamiyah berarti “persaudaraan yang bersifat islami atau yang diajarkan oleh Islam”. Paling tidak ada dua alasan untuk mendukung pendapat ini. Pertama, Al-Qur’an dan Hadits memperkenalkan bermacam-macam persaudaraan. Kedua, karena alasan kebahasaan. Di dalam bahasa arab, kata sifat selalu harus disesuaikan dengan kata yang disifatinya. Jika yang disifati berbentuk indefinitif maupun feminim, maka kata sifatnya pun harus demikian. Ini terlihat secara jelas pada saat kita berkata “Ukhuwah Islamiyah dan Al-Ukhuwah Al-Islamiyah”. Kata ukhuwah berakar dari kata kerja akha, misalnya dalam kalimat “akha fulanun shalihan”, (Fulan menjadikan Shalih sebagai saudara).

II. Macam Macam Ukhuwah Islamiyah

1. Ukhuwah ‘Ubudiyah atau saudara kesemahlukan dan kesetundukan kepada Allah.

2. Ukhuwah Insaniyah (basyariyah) dalam arti seluruh umat manusia adalah bersaudara, karena mereka semua berasal dari seorang ayah dan ibu.

3. Ukhuwah Wathaniyah wa an-nasab, yaitu persaudaraan dalam keturunan dan kebangsaan

4. Ukhuwah fi din Al-Islam, persaudaraan antarsesama Muslim.

III. Hal yang menguatkan Ukhuwah Islamiyah

1. Memberitahukan kecintaan kepada yang dicintai

Hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik bahwa Rasulullah bersabda: “ Ada seseorang berada di samping Rasulullah lalu salah seorang sahabat berlalu di depannya. Orang yang disamping Rasulullah tadi berkata: ‘Aku mencintai dia, ya Rasulullah.’ Lalu Nabi menjawab: ‘Apakah kamu telah memberitahukan kepadanya?’ Orang tersebut menjawab: ‘Belum.’ Kemudian Rasulullah bersabda: ‘Beritahukan kepadanya.’ Lalu orang tersebut memberitahukan kepadanya seraya berkata: ‘ Sesungguhnya aku mencintaimu karena Allah.’ Kemudian orang yang dicintai itu menjawab: ‘Semoga Allah mencintaimu karena engkau mencintaiku karena-Nya.

2. Memohon didoakan bila berpisah

“Tidak seorang hamba mukmin berdo’a untuk saudaranya dari kejauhan melainkan malaikat berkata: ‘Dan bagimu juga seperti itu”.

(HR Muslim)

3. Menunjukkan kegembiraan dan senyuman bila berjumpa

“Janganlah engkau meremehkan kebaikan (apa saja yang dating dari saudaramu), dan jika kamu berjumpa dengan saudaramu maka berikan dia senyum kegembiraan.” (H.R. Muslim)

4. Berjabat tangan bila berjumpa (kecuali non muhrim)

“Tidak ada dua orang mukmin yang berjumpa lalu berjabatan tangan melainkan keduanya diampuni dosanya sebelum berpisah.” (H.R Abu Daud dari Barra’)

5. Sering bersilaturahmi (mengunjungi saudara).

6. Memberikan hadiah pada waktu-waktu tertentu

7. Memperhatikan saudaranya dan membantu keperluannya.

8. Memenuhi hak ukhuwah saudaranya.

9. Mengucapkan selamat berkenaan dengan saat-saat keberhasilan.

Untuk mencapai nikmatnya ukhuwah, perlu kita ketahui beberapa proses terbentuknya Ukhuwah Islamiyah antara lain :

v Melaksanakan Proses Ta’aruf

Ta’aruf adalah saling mengenal sesama manusia. Saling mengenal antara kaum muslimin merupakan wujud nyata ketaatan kepada perintah Allah SWT . Adanya interaksi dapat membuat ukhuwah lebih solid dan kekal. Hal yang perlu kita kenal meliputi pengenalan fisik (jasadiyan), pengenalan pemikiran (fikriyan), pengenalan kejiwaan (nafsiyan).

v Melaksanakan Proses saling memahami (Tafahum)

Tafahum adalah saling memahami. Hendaknya seorang muslim memperhatikan keadaan saudaranya agar bisa bersegera memberikan pertolongan sebelum saudaranya meminta, karena pertolongan merupakan salah satu hak saudaranya yang harus ia tunaikan. Saling memahami adalah kunci kuatnya ukhuwah islamiyah.

v Melakukan At-Ta’aawun

Bila saling memahami sudah lahir, maka timbullah rasa ta’awun. Ta’awun dapat dilakukan dengan hati (saling mendo’akan), pemikiran (berdiskusi dan saling menasehati), dan aman (saling bantu membantu). Saling membantu dalan kebaikan adalah kebahagiaan tersendiri. Manusia adalah makhluk sosial yang butuh berinteraksi dan butuh bantuan orang lain.

v Melaksanakan Proses Takaful

Yang muncul setelah proses ta’awun berjalan. Rasa sedih dansenang diselesaikan bersama. Takaful adalah tingkatan ukhuwah yang tertinggi. Banyak kisah dan hadits Nabi SAW dan para sahabat yang menunjukkan pelaksanaan takaful ini. Seperti ketika seorang sahabat kehausan dan memberikan jatah airnya kepada sahabat lainnya yang merintih kehausan juga, namun setelah diberi, air itu diberikan lagi kepada sahabat yang lain, terus begitu hingga semua mati dalam kondisi kehausan. Mereka saling mengutamakan saudaranya sendiri dibandingkan dirinya (itsar). Inlah cirri utama dari ukhuwah islamiyah. Seperti sabda Nabi Muhammad SAW

“Tidak beriman seseorang diantaramu hingga kamu mencintainya seperti kamu mencintai dirimu sendiri”. (HR. Bukhari-Muslim).

3. Berbakti Kepada Orang Tua

Tauhid Dan Bakti Kepada Kedua Orang Tua, Dua Sayap Yang Harus Saling Bersanding. Hak kedua orang tua atas anak-anak mereka sangat agung. Karena itu, Allah menyandingkan perintah untuk beribadah kepadaNya dengan keharusan berbakti kepada mereka berdua.

Allah berfirman ;

وَقَضَى رَبُّكَ أَلاَّ تَعْبُدُوا إِلآ إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا

Dan Rabbmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu. (Al Isra`: 23).

Lantaran begitu tingginya hak mereka, Allah memerintahkan kita untuk selalu menyuguhkan kebaikan kepada mereka dan berinteraksi dengan mereka dengan sikap yang ma'ruf (pantas). Kendatipun mereka dalam kungkungan kekafiran. Sekalipun mereka memaksamu, wahai sang anak, untuk menyekutukan Allah dengan obyek yang tidak jelas kedudukannya. Allah berfirman:

وَإِن جَاهَدَاكَ عَلَى أَن تُشْرِكَ بِي مَالَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلاَ تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا

Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentangnya, maka janganlah kamu mengikuti keduanya dan pergauilah kedunya dengan baik". (Luqman: 15).

Saking besarnya martabat mereka dipandang dari kacamata syari'at, Nabi mengutamakan bakti kepada mereka atas jihad fi sabilillah. Ibnu Mas'ud berkata:

سَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ الْعَمَلِ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ قَالَ الصَّلَاةُ عَلَى وَقْتِهَا قَالَ ثُمَّ أَيٌّ قَالَ بِرُّ الْوَالِدَيْنِ قَالَ ثُمَّ أَيٌّ قَالَ الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ

Aku pernah bertanya kepada Rasulullah,"Amalan apakah yang paling dicintai Allah?" Beliau menjawab,"Mendirikan shalat pada waktunya." Aku bertanya kembali,"Kemudian apa?" Jawab Beliau,"Berbakti kepada ke orang tua," lanjut Beliau. Aku bertanya lagi,"Kemudian?" Beliau menjawab,"Jihad di jalan Allah." [HR Bukhari No. 5.970].

Perlu dipahami, perintah berbakti kepada Allah merupakan titah ilahi yang sudah berlaku pada umat sebelumnya. Allah berfirman:

وَإِذْ أَخَذْنَا مِيثَاقَ بَنِى إِسْرَاءِيلَ لاَ تَعْبُدُونَ إِلاَّ اللَّهَ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ

Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu): "Janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat baiklah kepada ibu bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim dan orang miskin… (Al Baqarah:83).

Demikian juga Allah menyanjung para nabi karena telah berbuat baik dengan baktinya kepada orang tua. Secara khusus, Allah menyebut nama Nabi Yahya atas baktinya kepada kedua orang tuanya yang telah tua renta. Dan bakti akan bernilai lebih tinggi, tatkala dilaksanakan dalam waktu yang dibutuhkan. Masa tua dengan segala problematikanya adalah masa yang sangat membutuhkan perhatian ekstra, terutama dari orang terdekat, anak-anaknya. Allah berfirman:

وَبَرَّا بِوَالِدَيْهِ وَلَمْ يَكُنْ جَبَّارًا عَصِيًّا

Dan banyak berbakti kepada kedua orang tuanya dan bukanlah ia orang yang sombong lagi durhaka. (Maryam:14).

Begitu pula Allah memuji Nabi Isa, lantaran beliau telah melayani sang ibu dengan sepenuh hati, dan bahkan merasa mendapat kehormatan dengan sikapnya itu. Allah berfirman:

وَبَرًّا بِوَالِدَتِي وَلَمْ يَجْعَلْنِي جَبَّارًا شَقِيًّا

Dan berbakti kepada ibuku dan Dia (Allah) tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka. (Maryam:32).

Keharusan Berbakti Kepada Orang Tua Sepanjang Masa

Bagaimana saya harus berbakti kepada orang tua? Mungkin pertanyaan ini pernah mengganggu dan membingungkan kita. Dalam masalah ini, sebenarnya Al Quran telah memaparkannya secara gamblang melalui ayat (artinya): "Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua". [Al Isra`: 23].

Saat menafsirkan ayat di atas, Syaikh As Sa'di menyatakan: "Berbuat baiklah kepada mereka berdua dengan seluruh jenis kebaikan, baik dengan ucapan maupun tindakan". Pasalnya, perintah dalam ayat itu dengan kalimat yang menunjukkan keumuman, sehingga mencakup seluruh jenis kebaikan, disenangi anak ataupun tidak, tanpa perdebatan, membantah atau berat hati. Perkara ini harus benar-benar diperhatikan. Sebab, sebagian orang melalaikannya. Mereka mengira, berbakti kepada orang tua hanya terbatas dengan melakukan apa yang disenangi anak saja. Padahal, hakikat berbakti tidak sekadar seperti itu. Bakti yang sejati tercermin dengan ketaatan anak kepada perintah orang tua. Meskipun tidak sesuai dengan keinginan anak.

4. Senantiasa Berendah Hati

Rendah hati mestinya kita terapkan dalam sikap keseharian kita agar kita tidaklah menjadi pribadi sombong dan takabur. Adanya sikap rendah diri pada diri sendiri membuat kita mudah diterima dan disenangi orang lain karena merasa sejajar dan menghargai. Rendah diri bukan pula berarti minder atau merasa ciut dan menjadi enggan menampakkan diri kita, namun adalah sikap yang menegar dan disertai keasoran. Sebagaimana dicontohkan Nabi Muhammad SAW. dalam sabdanya,

اِنٌَمَا اَنَا عبد اكل كما ياكل العبد واجلس كما يجلس العبد

“Sesungguhnya aku hanyalah seorang hamba yang makan sebagaimana seorang hamba makan dan duduk sebagaimana seorang hamba duduk.” (Hadits diketengahkan oleh Ibnu Abu ‘Ashim dalam Az-Zuhd 1/6, Ibnu Sa’d dalam Ath-Thabaqaat 1/37 dan lihat Kasyful 1/17)

5. Sabar dan Tidak Mudah Marah serta Pemaaf

Kesabaran tentulah menjadi benteng utama dalam kita menghadapi pernyataan-pernyataan yang timbul dalam keseharian kita, baik itu pernyataan yang bersifat baik (menggembirakan) maupun yang tidak kita sukai. Dikhusukan terhadap hal-hal yang berkaitan dengan orang lain, bersabar adalah sikap yang sangat baik ditunjukkan sebagai kita umat Islam. Firman Allah SWT,

وَاصْبِرْ وَمَا صَبْرُكَ اِلاٌَبِاللٌَهِ

“Bersabarlah (hai Muhammad) dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah.” (QS. An-Nahl (16) : 127)

فَاصْبِرْ عَلَي مَا يَقُوْلُوْنَ

“maka sabarlah kamu atas apa yang mereka katakana.” ( QS. Taahaa (20) : 130)

Nabi Muhammad SAW. bersabda

لا تغضب ! لا تغضب ! لا تغضب !

“Jangan marah! Jangan marah! Jangan marah!”

Beliau mengulang larangan tersebut sebanyak tiga kali, berarti sangat dianjurkan dan ditekankan untuk kita menghindari kemarahan. Sebaliknya kita mestinya bersabar dan menahan amarah dalam menghadapi perkara yg tidak kita sukai. Selain bersabar dan menahan amarah, kita juga dianjurkan memaafkan kesalahan orang lain kepada kita. Firman Allah SWT,

وَالْكَا ظِمِيْنَ الْغَيْظَ وَالْعَافِيْنَ عَنِ النٌَاسِ

“Dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang.” (QS. Ali Imran (3) : 134)

6. Menutup Aurat

Menutup aurat merupakan salah satu syarat syahnya shalat seseorang, tidak bisa dikatakan sah, bila aurat tidak tertutup. Firman Allah SWT :

“Hai Anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid” ( Al A’raf : 31 )

Dzhohir kita dalam menutupi aurat mempergunakan pakaian yang memenuhi kriteria suci dari hadats dan suci dari status kepemilikan, artinya pakaian yang dipakai halal adanya. Apabila dua kriteria tersebut tidak terpenuhi maka secara hukum Shalat kita tidak sah.

Pahamilah, pakaian lahir adalah nikmat dari Allah yang menutup aurat anak Adam. Pakaian merupakan kemuliaan yang dengannya Allah memuliakan hamba-hambaNya, keturunan Adam a.s. Kemuliaan yang tidak pernah diberikan-Nya kepada yang lain. Pakaian juga merupakan alat bagi kaum mukmin untuk menunaikan kewajiban mereka yang telah dilekatkan oleh Allah kepada mereka.

Renungkanlah secara mendalam, bahwa Allah memulikan manusia dengan menutup aib lahiriah badani dengan berbagai jenis pakaian. Allah pula menutup aib-aib perbuatan dengan tabir malakut. Seandainya tidak ada “tabir malakut”, maka perilaku, akhlak kita akan nampak bentuknya dan “al fadhilah” serta kehinaan pun akan melekat pada kita di dunia ini. Tetapi Allah SWT menutupi dari pandangan seluruh penghuni alam ini dengan penutup milik-Nya. Allah menutupi keburukan akhlak kita dengan “bentuk malakut”, serta membentuk raga kita, dengan bentuk yang seimbang dan simetris. Renungkan dengan bentuk makhluk lain di dunia ini.

Pakaian terindah bagi kaum mukmin adalah taqwa, sedangkan pakaian ternikmat adalah iman. Sedangkan yang terbaik adalah yang tidak membuat lalai dari Allah Azza wa Jalla, bahkan mendekatkan kepada syukur, dzikir dan ketaatan kepada-Nya, bukan pakaian yang membuat bangga diri, riya, terlebih lagi sombong.

Imam Ash Shadiq a.s. berkata :

“ Apabila engkau mengenakan pakaianmu, maka ingatlah tabir Allah Ta’ala yang menutupi dosa-dosamu dengan rakhmatNya. Tutuplah batinmu dengan kebenaran, sebagaimana engkau menutup lahirmu dengan pakaian. Jadikanlah batinmu berada dalam tabir ketakutan dan lahirmu dalam tabir ketaatan”.

“Pikirkanlah karunia Allah Azza wa Jalla yang telah menciptakan bahan-bahan pakaian untuk menutupi aurat lahiriah, yang membuka pintu-pintu tobat untuk menutupi aurat batin dari dosa-dosa dan akhlak buruk. Jangan membuka aib siapapun, karena Allah telah menutup aibmu, itu lebih baik.”

“Sibukkanlah dirimu dengan mencari aib diri sendiri, berpalinglah dari sesuatu yang tidak berguna bagimu. Waspadalah agar engkau tidak menyia-nyiakan usiamu untuk pekerjaan orang lain, dan orang lain mengembangkan modalmu, sementara engkau membinasakan dirimu sendiri. Sungguh, lupa pada dosa merupakan hukuman terbesar dari Allah di dunia ini dan sebab tercepat yang mendatangkan siksa di akhirat.”

“Selama hamba sibuk dalam ketaatan kepada Alloah SWT, mengenali aib dirinya dan meninggalkan sesuatu yang mendatangkan keburukan pada agama Allah, maka ia berada di tempat yang terhindar dari segala penyakit dan tenggelam di samudera rahmat Allah Azza wa Jalla serta memperoleh bermacam-macam mutiara faedah hikmah dan bayan. Dan sebaliknya selama ia lupa pada dosa-dosanya, tidak mengenal aib-aib dirinya, dan masih bersandar pada kekuatannya sendiri, maka ia tidak akan pernah beruntung untuk selamanya.”

KEUTAMAAN MENUTUP AURAT

v Pertama: merupakan tanda ketaatan seorang muslimah kepada Allah dan Rasul-Nya.
Allah telah memerintahkan para wanita untuk menggunakan hijab sebagaimana firman Allah:

فَظْنَ وَيَحْأَبْصَارِهِنَّ مِنْ يَغْضُضْنَ لِلْمُؤْمِنَاتِ وَقُلْ
جُيُوبِهِنَّ عَلَى بِخُمُرِهِنَّ وَلْيَضْرِبْنَ مِنْهَا ظَهَرَ مَا إِلا زِينَتَهُنَّ يُبْدِينَ وَلا فُرُوجَهُنَّ
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka Menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya.”
(QS Annur : 31)

Dalam firmannya yang lain juga disebutkan :
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
الأولَى الْجَاهِلِيَّةِ تَبَرُّجَ تَبَرَّجْنَ وَلا بُيُوتِكُنَّ فِي وَقَرْنَ

“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah.” (QS. Al Ahzab: 33)

v Kedua : Hijab itu Iffah (Menjaga diri).

Allah menjadikan kewajiban menggunakan hijab sebagai tanda ’Iffah (menahan diri dari maksiat). Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Hai Nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Ahzab: 59)

Menutupi tubuh mereka untuk menghindar dan menahan diri dari perbuatan dosa, karena itulah Allah menjelaskan manfaat dari hijab ini, “kerana itu mereka tidak diganggu.” Ketika seorang muslimah memakai hijabnya dengan benar maka orang-orang fasik tidak akan mengganggu mereka dan pada firman Allah “kerana itu mereka tidak diganggu"

v Ketiga : Hijab itu kesucian.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
سَأَلْتُمُوهُنَّ وَإِذَا

وَقُلُوبِهِنَّ لِقُلُوبِكُمْ طْهَرُ أَ ذَلِكُمْ حِجَابٍ وَرَاءِ مِنْ فَاسْأَلُوهُنَّ مَتَاعًا
“Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri- isteri Nabi), Maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka.” (QS. Al Ahzab: 53)

Allah subhanahu wa ta’ala menyifati hijab sebagai kesucian bagi hati orang-orang mukmin, laki-laki maupun perempuan. Kerana mata bila tidak melihat maka hati pun tidak akan bernafsu. Pada keadaan ini maka hati yang tidak melihat maka akan lebih suci. Keadaan fitnah (godaan) bagi orang yang banyak melihat keindahan tubuh wanita lebih jelas dan lebih nampak. Hijab merupakan pelindung yang dapat menghancurkan keinginan orang-orang yang ada penyakit di dalam hatinya.

v Keempat : Hijab adalah pelindung.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Hai Nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Ahzab: 59)

v Kelima : Hijab itu adalah ketakwaan.

Allah berfirman :
”Hai anak Adam, Sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. dan pakaian takwa Itulah yang paling baik. yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, Mudah-mudahan mereka selalu ingat.” (QS. Al-A’raf: 26)

v Keenam : Hijab menunjukkan keimanan.

Allah subhanahu wa ta’ala tidaklah berfirman tentang hijab kecuali bagi wanita-wanita yang beriman, sebagaimana firmannya,

”Dan katakanlah kepada wanita-wanita beriman.” (QS. An-Nuur: 31), juga firman-Nya: ”Dan isteri-isteri orang beriman.” (QS. Al-Ahzab: 59)

Dalam ayat-ayat di atas Allah menyeru kepada wanita beriman untuk memakai hijab yang menutupi tubuhnya. Ketika seorang wanita yang benar imannya mendengar ayat ini maka tentu ia akan melaksanakan perintah Tuhannya dengan senang hati. Maka bagaimanakah iman seorang wanita yang mengetahui ada perintah dari Rabbnya kemudian ia tidak melaksanakannya, bahkan ia melanggarnya dengan terang-terangan di hadapan umum?

v Ketujuh : Hijab adalah rasa malu.

Rasulullah bersabda:
“Sesungguhnya yang didapatkan manusia pada ucapan nubuwwah yang pertama kali: Jika kalian tidak malu maka lakukanlah perbuatan sesuka kalian.” (HR. Bukhari)

Wanita yang membuka auratnya tidak disangsikan lagi bahwa tidak ada rasa malu darinya, ia menampilkan perhiasan yang tidak selayaknya dibuka, ia mempamerkan barang berharganya yang hanya layak untuk ia berikan kepada suaminya, ia membuka sesuatu yang Allah perintahkan untuk menutupnya!

v Kelapan : Hijab adalah ghirah (rasa cemburu).

Hijab berbanding dengan perasaan cemburu yang menghinggapi seorang wanita sempurna yang tidak senang dengan pandangan-pandangan khianat yang tertuju pada isteri dan anak perempuannya. Betapa banyak pertikaian yang terjadi karena wanita, betapa banyak tindakan buruk yang terjadi kepada wanita serta betapa banyak seorang lelaki gagah yang menjadi rosak kerana wanita. Wahai para wanita jagalah aurat kalian supaya kalian menjadi wanita-wanita yang terhormat! Wahai para lelaki perintahkanlah kepada keluargamu untuk menutup auratnya dan cemburulah kepada orang-orang yang dekat denganmu yang membuka auratnya di hadapan orang lain karena tidak ada kebaikan bagi seseorang yang tidak mempunyai perasaan cemburu!.

B. AKHLAQ TERCELA

1. Durhaka Kepada Orang Tua

Orang yang durhaka kepada kedua orang tua termasuk melakukan dosa besar, yang sangat besar hukumannya di hari kiamat nanti. Allah menjelaskan ;

Dan Tuhanmu Telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia[1]. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua Telah mendidik Aku waktu kecil".( QS Al Israa’ : 23-24)

Allah mengingatkan pada kita betapa besar kedua orang tua kita. Maka kita wajib berbakti padanya. Allah swt berfirman;

Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya Telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun[2]. bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, Hanya kepada-Kulah kembalimu (QS. Luqman ; 14)

Tak ada untungnya durhaka kepada kedua orang tua, dan kerugiannya tampak jelas. Sebab selama di dunia pasti kita tetap memiliki ketergantungan pada mereka, minimal tempat berkeluh kesah dan tempat mengadu. Belum lagi balasan akhirat bagi seseorang yang mendurhakai mereka. Allah ikut murka bersamaan dengan kemurkaan kedua orang tua kepada anaknya. Rasulullah menegaskan;

Keridhaan Allah itu terletak pada keridhaan ibu-bapak, dan kemurkaan Allah terletak pada kemurkaan orang tua terhadap kedua ibu-bapak pula”(HR. Tirmidzi dan Hakim)

Hanya orang-orang bodoh yang mendurhakai kedua orang tuanya.

Di antara Bentuk Durhaka pada Orang Tua

’Abdullah bin ’Umar radhiyallahu ’anhuma berkata,
”Membuat orang tua menangis termasuk bentuk durhaka pada orang tua.”

Mujahid mengatakan,
“Tidak sepantasnya seorang anak menahan tangan kedua orang tuanya yang ingin memukulnya. Begitu juga tidak termasuk sikap berbakti adalah seorang anak memandang kedua orang tuanya dengan pandangan yang tajam. Barangsiapa yang membuat kedua orang tuanya sedih, berarti dia telah mendurhakai keduanya.”

Ka’ab Al Ahbar pernah ditanyakan mengenai perkara yang termasuk bentuk durhaka pada orang tua, beliau mengatakan,
Apabila orang tuamu memerintahkanmu dalam suatu perkara (selama bukan dalam maksiat, pen) namun engkau tidak mentaatinya, berarti engkau telah melakukan berbagai macam kedurhakaan terhadap keduanya.” (Birrul Walidain, hal. 8, Ibnul Jauziy)

Hati-hatilah dengan Do’a Jelek Orang Tua

Abu Hurairah berkata, ”Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

“Ada tiga jenis doa yang mustajab (terkabul), tidak diragukan lagi, yaitu doa orang yang dizalimi, doa orang yang bepergian dan doa kejelekan kedua orang tua kepada anaknya.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi dan Ibnu Majah. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan)

Dengan demikian maka seseorang harus senantiasa berhati-hati terhadap perbuatan yang diperbuat, perkataan yang dikatkan, kemudian sikap yang benar ketika orang tua sedang berbicara dan menasehati. Karena barangkali sikap yang anak perbuat itu benar menurut mereka tetapi itu menyakitkan bagi orang tua. Dalam sebuah peribahasa indonesia juga disebutkan;

Kasih ibu sepanjang masa, kasih anak sepanjang jalan

Itu menunjukkan betapa besarnya kasih sayang orang tua kepada anak sehingga bakti anakpun tidak ada apa-apanya di mata orang tua.

2. Berbuat Munafiq

Pengertian Munafiq

Adalah orang munafiq itu termasuk golongan orang yang tidak mendapatkan hidayah atau petunjuk dari allah sehinga jalan hidupNya yang di tempuh tidak lah mengandung nilai-nilai ibadah dan segala amal yang di kerjakan tidak mencari keridhoan alloh.Orang munafiq adalah orang yang bermuka dua mengaku beriman padahal hatinya ingkar. Perbuatan orang munafiq disebut Nifaq.mereka ini hanya pada mulutnya saja, Dari tanda-tanda tercela orang-orang munafiq

a. Ingin menipu daya Allah. Di dalam Al Qur`an Allah berfiman;

A.

Di antara manusia ada yang mengatakan: "Kami beriman kepada Allah dan Hari kemudian,[3]" pada hal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman. Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar [QS ; Al Baqoroh 8-9].

b. Tidak mau di ajak berhukum dengan hukum Allah dan RasulNya dalam firman Allah surat Annisa ayat 61 disebutkan ;

Apabila dikatakan kepada mereka: "Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah Telah turunkan dan kepada hukum Rasul", niscaya kamu lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu ( QS Annisa; 61).

c. Lebih suka memilih orang kafir sebagai pemimpin.

Dalam Al Qur’an disebutkan ;

(yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi teman-teman penolong dengan meninggalkan orang-orang mukmin. apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu? Maka Sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Allah (QS Annisa ; 139).

d. Malas menegakan sholat akan tetapi kalau sholat suka menunjuk-menunjukan atau riya Allah berfirman;

Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka[4]. dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. mereka bermaksud riya[5] (dengan shalat) di hadapan manusia. dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali[6] (QS Annisa; 142).

e. Berdusta apabila menyalahi janji dan khianat/tidak amanat.

Sesuai dengan sabda Rasulullah Saw :

Tanda-tanda orang munafiq ada 3 macam;

i. Apabila berkata suka dusta

ii. Apabila berjanji suka hianat

iii. Apabila di beri amanat suka khianat

f. Perbuatan tercela ketika mengingkari janji

(Yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh, dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk menghubungkannya dan membuat kerusakan di muka bumi. Mereka itulah orang orang yang rugi (QS Al Baqarah ; 27)

Dalam firman Allah yang lain juga disebutkan ;

Sesungguhnya orang-orang yang menukar janji (nya dengan) Allah dan sumpah-sumpah mereka dengan harga yang sedikit, mereka itu tidak mendapat bahagian (pahala) di akhirat, dan Allah tidak akan berkata-kata dengan mereka dan tidak akan melihat kepada mereka pada hari kiamat dan tidak (pula) akan mensucikan mereka. bagi mereka azab yang pedih (QS

Juga difirmankan dalam ayat lain ;

Sesungguhnya binatang (makhluk) yang paling buruk di sisi Allah ialah orang-orang yang kafir, Karena mereka itu tidak beriman. (yaitu) orang-orang yang kamu Telah mengambil perjanjian dari mereka, sesudah itu mereka mengkhianati janjinya pada setiap kalinya, dan mereka tidak takut (akibat-akibatnya). Jika kamu menemui mereka dalam peperangan, Maka cerai beraikanlah orang-orang yang di belakang mereka dengan (menumpas) mereka, supaya mereka mengambil pelajaran. Dan jika kamu khawatir akan (terjadinya) pengkhianatan dari suatu golongan, Maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka dengan cara yang jujur. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berkhianat (QS ; 55-58)

g. Membunuh jiwa secara disengaja

Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar[7]. dan barangsiapa dibunuh secara zalim, Maka Sesungguhnya kami Telah memberi kekuasaan[8] kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan ( QS Al Israa ; 33)

3. Mencuri

Disebut pencuri atau dalam bahasa Arab sariqu. M enurut Kamus Besar bahasa Indonesia, mencuri diartikan mengambil milik orang lain tanpa izin atau dengan tidak sah, biasanya dengan sembunyi-sembunyi. Secara istilah yang dimaksud mencuri ialah mengambil milik orang lain untuk dijadikan milik sendiri dengan cara yang tidak sah, baik menurut hokum adat maupun agama. Sedangkan, yang termasuk dalam perbuatan mencuri, antara lain mencopet, merampok, membajak, korupsi. Pekerjaan mencuri mestinya tidak lazim dilakukan manusia sebagai hamba Allah karena manusia adalah makhluk Allah yang diberikan kelebihan dari makhluk yang lain. Salah satu kelebihan manusia adalah dibekali akal yang mampu menerima agama yang diturunkan Allah untuk membimbing manusia menuju keselamatan dan kebahagiaan.

Mencuri sebagai kemungkaran yang sangat merugikan orang lain, baik dalam hal materiil maupun imateriil, berupa kekecewaan atau kesedihan. Perbuatn mencuri dapat merugikan secara perseorangan, kelompok sampai merugikan Negara. Syariat Islam sangat melindungi hak milik perorang, kelompok maupun Negara. Allah telah menetapkan hukuman bagi pelaku pencurian yang telah memenuhi ketentuan hokum. Firman Allah swt, sebagai berikut.

وَالسَّارِقُ وَالسّاَرِقَةُ فَاقْطَعُوْا اَيْدِيَهُماَ جَزاَءً بِمَا كَسَباَ نَكاَلًا مِنَ اللهِ وَ اللهُ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ

Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (Q.S. al- Ma’idah/5:38)

عَنْ عاَئِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَ: ياَ أَيُّهاَ النّاَسُ إِنّماَ ضَلَّ مَنْ كاَنَ قَبْلَكُمْ إِنَّهُمْ كَانُوا اِذاَ سَرَقَ الشَّرِيْفُ تَرَكُوْهُ, فَإِذاَ سَرَقَ الضَّعِيْفُ فِيْهِمْ اَقاَمُوْاعَلَيْهِ الحَدَّ. وَاللهِ لَوْ أَنَّ فاَطِمَةَ بِنْتُ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعَ مُحَمَّدٌ يَدَهاَ رواه البخارى

Artinya : Dari Aisyah r.a. Rasulullah saw, bersabda, “wahai manusia, sungguh tersesat, umat sebelum kamu, sesungguhnya mereka tu adalah apabila ada orang yang mulia mencuri, mereka meninggalkannya dan apabila orang lemah mencuri, bagi mereka ditegakkan hokum. Demi Allah, seandainya Fatimah binti Muhammad mencuri, pasti Muhammad yang memotong tangannya.” (H.R. al-Bukhari no. 3216)

Ayat dan hadits diatas begitu tegas memberikan hukuman bagi pelaku pencurian sebab jika seseorang yang melakukantidak pencurian tidak dikenai hukuman yang telah ditetapkan Allah di dunia, maka nanti di akhirat siksanya jauh akan lebih berat dibandingkan siksaan hukuman yang dilakukan di dunia.

Akibat negatif dari perbuatan mencuri diantaranya sebagai berikut :

a. Menentang hukum Allah, perbuatan mencuri sebagai perbuatn yang dilarang agama karena membawa mudarat yang besar bagi kehidupan manusia.

b. Mengabaikan norma di masyarakat, setiap masyarakt memiliki norma yang bertujuan untuk menjamin keselarasan dan keharmonisan kehidupan.

c. Menyengsarakan kehidupan pribadi dan keluarga, perbuatn mencuri dapat menyebabkan pelakunya menjadi sengsara secara batin.m

d. Menjadi penyebab terbukanya pintu kejahatan, apabila seorang telah melakukan pencurian, maka sesungguhnya mereka telah memasuki pintu gerbang kejahatan.

Untuk menghindari parbuatsan mencuri ada beberapa upaya yang bisa dilakukan. Islam menanggulangi kasus pencurian dengan cara mendidik dan membersihkan jiwa manusia dengan akhlak yang luhur agar jangan memiliki hak orang lain. Di samping itu, Islam mengajak kaum muslimin agar giat bekerja mencari penghidupan, membensi pengangguran, dan mencela sifat kikir.

Adapun hikmah menghindari perbuatan mencuri adalah, antara lain meghormati ataupun menjaga hak milik, menjaga harga diri, membawa ketenangan hati.

Sumber Referensi ;

1. Rahman Abdul Roli dan Khamzah M :, Menjaga Akidah dan Akhlak, Solo : PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri 2008.

2. Majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun VIII/1426H/2005. Yayasan Lajnah Istiqomah

3. http://wildaznov11.blogspot.com/2009/06/ukhuwah-islamiyah.html

4. Maksum Syukron Muhammad ; Dosa Bikin Hidup Menderita. Yogyakarta. Madina press. 2010.

5. Aidh bin Abdullah Al Ar Qarni. Visualisasi Kepribadian Muhammad. Penerbit Irsyad Baitussalam Tahun.2006



[1] mengucapkan kata ah kepada orang tua tidak dlbolehkan oleh agama apalagi mengucapkan kata-kata atau memperlakukan mereka dengan lebih kasar daripada itu.

[2] Maksudnya: Selambat-lambat waktu menyapih ialah setelah anak berumur dua tahun.

[3] Hari kemudian ialah: mulai dari waktu mahluk dikumpulkan di padang masyar sampai waktu yang tidak ada batasnya

[4] Maksudnya: Allah membiarkan mereka dalam pengakuan beriman, sebab itu mereka dilayani sebagai melayani para mukmin. dalam pada itu Allah Telah menyediakan neraka buat mereka sebagai pembalasan tipuan mereka itu.

[5] riya ialah: melakukan sesuatu amal tidak untuk keridhaan Allah tetapi untuk mencari pujian atau popularitas di masyarakat.

[6] Maksudnya: mereka sembahyang hanyalah sekali-sekali saja, yaitu bila mereka berada di hadapan orang.

[7]maksudnya yang dibenarkan oleh syara' seperti qishash membunuh orang murtad, rajam dan sebagainya.

[8] Maksudnya: kekuasaan di sini ialah hal ahli waris yang terbunuh atau Penguasa untuk menuntut kisas atau menerima diat. Qishaash ialah mengambil pembalasan yang sama. qishaash itu tidak dilakukan, bila yang membunuh mendapat kema'afan dari ahli waris yang terbunuh yaitu dengan membayar diat (ganti rugi) yang wajar. pembayaran diat diminta dengan baik, umpamanya dengan tidak mendesak yang membunuh, dan yang membunuh hendaklah membayarnya dengan baik, umpamanya tidak menangguh-nangguhkannya. bila ahli waris si korban sesudah Tuhan menjelaskan hukum-hukum ini, membunuh yang bukan si pembunuh, atau membunuh si pembunuh setelah menerima diat, Maka terhadapnya di dunia diambil qishaash dan di akhirat dia mendapat siksa yang pedih. Diat ialah pembayaran sejumlah harta Karena sesuatu tindak pidana terhadap sesuatu jiwa atau anggota badan.