METODE MEMAHAMI AJARAN ISLAM (MUKTI ALI)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
belakang
Dalam
keseharian seiring dengan perkembangan paradigma (cara berpkir) dalam
masyarayakat muncul pula berbagai metode pemikiran dalam memahami ajaran agama
Islam baik itu ada yang tekstual maupun kontekstual,sekulari, pluralis dll. Dengan itu, maka tak jarang dalam kehidupan
bermasyarakat sering terjadi perbedaan pendapat mengenai ajaran agama islam dan
pengaplikasiannya dalam masyarakat. Semua itu menjadi sebauah warna yang unik
dalam perkembangan keilmuan agama Islam dari masa ke masa sejak zaman Nabi
sampai zaman modern seperti saat ini.
Sebagai
salah seorang yang berpengaruh karena beliau pernah menjabat sebagai Menteri
Agama tentunya Mukti Ali juga banyak memberikan kontribusi pemikiran dan
pendapat yang memberikan pencerahan dalam ranah pemikiran agama Islam.
Diantaranya juga ada berbagai pendekatan yaitu pertama naqli (tradisional), yang kedua adalah pendekatan
secara aqli (rasional) dan yang ketiga adalah pendekatan secara kasyfi
(mistis). Maka untuk menyikapi beberapa warna pemikiran ini perlu diadakan
studi Mukti Ali memberikan beberapa penawaran pemikiran agar dalam memahami
ajaran agama Islam umat tidak akan tersesat dan memahami ajaran agama Islam
dengan benar.
B. Rumusan
masalah
1. Apa
sajakah warna pemikiran mengenai cara memahami ajaran agama Islam ?
2. Apa
hasil pemikiran yang ditawarkan oleh Mukti Ali ?
3. Apa Kritik Mukti Ali terhadap Metode Memahami
Agama Islam di Indonesia ?
4. Apa sajakah metode yang diutarakan Mukti Ali
dalam pemikirannya ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi Singkat Prof. Dr. H. Abdul
Mukti Ali
Prof. Dr. H. Abdul Mukti Ali (lahir di Cepu, 23 Agustus
1923). Beliau adalah mantan Menteri Agama Kabinet Pembangunan II periode
1973-1978. Sejak berumur delapan tahun, Mukti menjalani pendidikan Belanda di
HIS. Ketika berumur 17 tahun, ia melanjutkan pendidikan di Pondok Pesantren
Termas, Kediri, Jawa Timur. Mukti Ali kemudian melanjutkan studi ke India
setelah perang dunia ke dua. Ia menyelesaikan pendidikan Islam di India dengan
memperoleh gelar doktor sekitar tahun 1952. Setelah itu, ia melanjutkan kembali
studinya ke McGill University, Montreal, Kanada mengambil gelarMA.
Semasa hidupnya, Mukti Ali telah menulis beberapa buku
seperti : Beberapa Persoalan Agama Dewasa ini, Ilmu Perbandingan Agama di
Indonesia, Muslim Bilali dan Muslim Muhajir di Amerika, Ijtihad dalam Pandangan
Muhammad Abduh, Ahmad Dahlan, Muhammad Iqbal, Ta`limul Muta`alim versi Imam
Zarkasyi, Memahami Beberapa Aspek Ajaran Islam, Asal Usul Agama, dan Alam
Pikiran Islam Modern .
Abdul Mukti Ali meninggal dunia dalam usia 81 tahun pada tanggal
5 Mei 2004, sekitar pukul 17.30 di Rumah Sakit Umum Dr. Sardjito, Yogyakarta.
Jenazahnya dimakamkan di pemakaman keluarga besar Institut Agama Islam Negeri
(IAIN) Sunan Kalijaga di Desa Kadisoko, Kecamatan Kalasan, Kabupaten Sleman.[1]
B. Pengertian Metodologi
Menurut bahasa (etimologi), metode berasal
dari bahasa Yunani, yaitu meta (sepanjang), hodos (jalan). Jadi, metode adalah
suatu ilmu tentang cara atau langkah-langkah yang di tempuh dalam suatu
disiplin tertentu untuk mencapai tujuan tertentu. Metode berarti ilmu cara
menyampaikan sesuatu kepada orang lain. Metode juga disebut pengajaran atau
penelitian.
Menurut istilah (terminologi), metode
adalah ajaran yang memberi uraian, penjelasan, dan penentuan nilai. Metode
biasa digunakan dalam penyelidikan keilmuan
Metode adalah suatu ilmu yang memberi
pengajaran tentang sistem dan langkah yang harus ditempuh dalam mencapai suatu
penyelidikan keilmuan. Dalam berbagai penelitian ilmiah, langkah-langkah pasti
harus ditempuh agar kelogisan penelitian ilmiah benar-benar nyata dan dapat
dipercaya semua masyarakat. Metode juga dapat diartikan sebagai cabang logika
yang merumuskan dan menganalisis prinsip-prinsip yang tercakup dalam menarik
kesimpulan logis untuk membuat konsep.[2]
C.
Pentingnya
Mempelajari Metodologi
Mukti Ali mengatakan bahwa yang menentukan dan membawa
stagnasi dan masa kebodohan atau kemajuan bukanlah karena ada atau tidak adanya
orang-orang jenius, melainkan karena metode penelitian dan cara melihat
sesuatu. Untuk ini kita dapat mengambil contoh yang terjadi pada abad keempat
belas, lima belas dan enam belas Masehi. Aristoteles (384-322 SM) sudah tentu
jauh lebih jenius dari Francis Bacon (1561-1626), dan plato (366-347 SM) adalah
lebih jenius dari Roger Bacon (1214-1294). Dalam hal tersebut dua orang Bacon
itu menjadi faktor dalam kemajuan sains, sekalipun kedua orang itu jauh lebih
rendah jeniusnya dibandingkan dengan Plato dan Aristoteles, sedangkan
orang-orang jenius itu tidak bisa membangkitkan Eropa abad pertengahan, bahkan
menyebabkan stagnasi dan kemandegan.
Ada pertanyaan mengapa orang-orang jenius menyebabkan
kemandegan dan stagnasi di dunia, sedangkan orang-orang yang biasa-biasa saja
dapat membawa kemajuan-kemajuan ilmiah dan kebangkitan rakyat? Mukti Ali
menjawab sebabnya adalah karena orang-orang yang biasa-biasa saja itu menemukan
metode berpikir yang benar dan utuh, sekalipun kecerdasannya biasa, mereka
dapat menemukan kebenaran. Sedangkan pemikir-pemikir jenius yang besar, apabila
tidak mengetahui metode yang benar dalam melihat sesuatu dan memikirkan
masalah-masalahnya, maka mereka tidak akan dapat memanfaatkan
kejeniusannya. Uraian tersebut sama
sekali bukan dimaksudkan untuk merendahkan orang-orang jenius, melainkan yang
ingin dikatakan bahwa untuk mencapai suatu kemajuan, kejeniusan saja belum
cukup, melainkan harus dilengkapi dengan ketepatan memilih metode yang akan
digunakan untuk kerjanya dalam bidang pengetahuan. Metode yang tepat adalah
masalah pertama yang harus diusahakan dalam pelbagai cabang ilmu pengetahuan.
Kewajiban pertama bagi setiap peneliti adalah memilih metode yang paling tepat
untuk riset dan penelitiannya. Selain itu penguasaan metode yang tepat dapat
menyebabkan seseorang mengembangkan ilmu yang dimilikinya. Sebaliknya mereka
yang tidak menguasai metode hanya akan menjadi konsumen ilmu, dan bukan menjadi
produsen.[3]
D.
Berbagai metode
memahami ajaran Islam
Jika kita mempelajari cara orang mendekati dan memahami Islam, maka tanpa ada tiga cara yang jelas. Tiga pendekatan itu adalah pertama naqli (tradisional), yang kedua adalah pendekatan secara aqli (rasional)
dan yang ketiga adalah pendekatan secara kasyfi (mistis). Saya rasa (Mukti Ali) tiga pendekatan ini sudah ada dalam
pikiran Nabi Muhammad saw., dan terus dipergunakan oleh ulama-ulama Islam setelah beliau wafat. Kadang-kadang ada pendekatan yang sangat
menonjol pada suatu ketika, kemudian surut dan diganti dengan pendekatan lain,
tetapi bagaimana pun juga, meskipun dalam tingkatan yang berbeda-beda, tiga
pendekatan itu terdapat dalam cara ulama-ulama Islam berusaha memahami agama Islam.[4]
Kewajiban
para intelektual Muslim dewasa ini adalah untuk meyakini dan mengetahui islam
sebagai agama yang memberikan hudan dan petunjuk pada manusia, baik
individu maupun masyarakat, dan bahwa islam menjanjikan jalan lempang pada
kehidupan umat manusia sekarang ini dan di masa-masa yang akan datang. Intelektual
harus merenungkan dan menggali islam secara baru dari segi mana ia nelihat. Hal
itu disebabkan karena islam adalah serba dimensi dan mempunyai berbagai macam
aspek, hingga tiap orang yang berusaha memelajari Islam akan memeroleh
pandangan dan petunjuk yang baru dari bidang studynya.[5]
Ada beberapa cara memahami ajaran Agama Islam, diantaranya
yaitu:
1. Metode Ilmiah
Dalam mempelajari dan mengetahui
Islam kita kenal metode orang-orang Barat yang meneliti Islam, yaitu metode
naturalis, psikologis, dan sosiologis. Kita harus memelajari metode-metode
ilmiah yang digunakan oleh orang-orang Barat itu, akan tetapi bukan merupakan
suatu keharusan untuk mengikuti metode-metode itu.
Dewasa ini metode-metode ilmiah
dalam segala cabang ilmu pengetahuan telah mengalami perubahan, dan
pendekatan-pendekatan baru telah ditemukan. Jadi metode-metode baru harus
dipilih dalam penyelidikan tentang agama.
Islam adalah agama yang bukan
mono- dimensi, oleh karena itu satu metode saja tidak cukup untuk mempelajari
islam. Islam adalah bukan agama yang hanya didasarkan kepada intuisi mistis
dari manusia dan terbatas pada hubungan antara manusia dengan Tuhan. Ini hanya
merupakan salah satu dimensi dari agama Islam. Untuk mempelajari dimensi ini,
metode filosofis harus digunakan, karena hubungan manusia dengan Tuhan dibahas
dalam filsafat, dalam arti dalam pemikiran metafisis yang umum dan bebas.
Dimensi lain dari agama islam adalah masalah kehidupan manusia di bumi ini.
Untuk memahami dimensi ini harus dipergunakan metode-metode yang selama ini
dipergunakan dalam ilmu alam. Lalu Islam juga suatu agama yang membentuk
masyarakat dan peradaban . Untuk mempelajari dimensi ini maka metode sejarah
dan sosiologi harus dipergunakan.
Selain itu karena Islam adalah
suatu agama maka metode-metode tersebut harus ditambah dengan doktriner. Walau bagaimana pun mempelajari
islam dengan segala aspeknya tidaklah cukup dengan metode ilmiah saja atau pun
dengan jalan doktriner saja.[6]
2. Metodologi Ali Syari’ati
Ali Syariati mencoba membandingkan
agama dengan manusia. Cara untuk mengetahui manusia besar itu hanya ada dua
jalan, dan kedua jalan itu harus dipergunakan bersamaan untuk memeroleh hasil yang sebenarnya, yaitu
mengerti orang yang dibahas itu. Cara yang pertama adalah penelitian tentang
pikiran dan keyakinannya. Dan yang kedua adalah penelitian tentang biografinya
sejak dari permulaan sampai akhir.
Begitu juga dengan Agama. Terdapat
dua metode yang fundamental untuk memahaminya. Pertama adalah mempelajari kitab sucinya, dalam Islam Al-
Quran merupakan himpunan ide dan output ilmiah atau literer yang merupakan
dasar dari ajaran- ajarannya yang ditawarkan kepada manusia. Adapun biografi
agama adalah sejarahnya, untuk memahami Islam kita harus mempelajari sejarah
islam sejak dari permulaan misi Nabi
Muhammad SAW hingga sekarang ini.[7]
3. Metode Tipologi
Metode
lain untuk memahami Islam yang diajukan Mukti Ali adalah Metode Tipologi.
Metode ini oleh banyak ahli sosiologi dianggap objektif berisi
klasifikasi topik dan tema sesuai dengan tipenya, lalu dibandingkan dengan
topic dan tema yang mempunyai tipe yang sama. Pendekatan ini
digunakan oleh sarjana-sarjana Barat untuk memahami ilmu-ilmu manusia. Dalam
hal Agama Islam, juga agama-agama lain kita dapat mengidentifikasikan lima
aspek atau ciri dari agama itu, lalu dibandingkan dengan aspek dan ciri yang
sama dari agama-agama lain[8]:
a. Aspek Ketuhanan
Agar
dapat mengetahui lebih luas tentang Islam, yang perlu kita ketahui pertama
adalah Tuhan. Untuk mengenal dengan betul cirri-ciri Tuhan, kita harus kembali
kepada Al-Quran yang telah menerangkan dengan jelas sifat-sifat Tuhan, juga
hadis Nabi, serta keterangan dari pemikir- pemikir besar Muslim dalam bidang
itu. Lalu kita bandingkan konsepsi tentang Allah itu dengan tuhan dalam
agama-agama lain.
b. Aspek Kitab Suci
Tingkat
kedua untuk mengetahui Islam adalah mempelajari Kitab sucinya yaitu Al-Quran.
Orang harus mengetahui Al-Quran itu kitab apa dan masalah-masalah apa saja yang
digarap oleh Al-Quran itu dan bagaimana caranya. Setelah itu kita bandingkan
Al-Quran dengan kitab-kitab suci agama
lain.
c. Aspek Kenabian
Tingkat
ketiga dalam usaha untuk memahami agama Islam adalah mempelajari pribadi Nabi
Muhammad saw. sebagai nabi dan membandingkannya dengan nabi-nabi dan pendiri-
pendiri agama lain.
d. Aspek Suasana dan Situasi dimana Nabi
bangkit
Tingkat
keempat untuk memahami Agama Islam adalah dengan meneliti waktu, suasana, dan
situasi bangkitnya seorang nabi. Setelah itu membandingkan dengan situasi dan
kondisi turunnya nabi pada agama lain.
e. Aspek Orang- orang terkemuka
Tingkat
kelima dalam memahami agama Islam adalah dengan meneliti orang-oranng
terkemuaka, atau individu-individu terpilih yang dihasilkan oleh agama
itu. Misalnya keempat sahabat Nabi
Muhammad saw. Dengan mempelajari kehidupan dan ide-ide empat orang tersebut
kurang lebih dapat mewakili corak dan tingkatan masyarakat yangn pertama kali
didakwahi oleh Nabi. Orang dapat memahami akibat-akibat yang ditimbulkan oleh
risalah Nabi Muhammad.[9]
E. Kritik
Mukti Ali terhadap Metode Memahami Agama Islam di Indonesia
Metode mempelajari islam yang berlaku di Indonesia masih
terbagi- bagi menjadi tauhid, fiqih, akhlak, tasawuf, tarikh, tafsir, hadis,
dan sebagainya. Tiap cabang ilmu itu diajarkan sesuai dengan tingkatan orang
yang diajar, lebih tinggi tingkatannya, lebih luas uraiannya. Meskipun tafsir
Al- Quran dan Sejarah islam juga diajarkan, tetapi hanya sebagai bagian dari
Ilmu Agama islam saja, jadi seperti cabang- cabang Ilmu agama Islam yang lain.
Hasilnya adalah pengetahuan tentang Islam yang tidak
bulat.orang yang mendalami tasawuf seringkali menganggap remeg tentang fiqih,
dan orang yang ahli fiqih tidak jarang merendahkan tasawuf. Begitu juga orang
yang mendalami filsafat seringkali merendahkan antropologi, sosiologi, dan
sebagainya, dan tidak jarang parng yang mendalami antropologi dan sosiologi
memicingkan mata sebelah terhadap fiqih, hadis, dan sebagainya.
Menurut Mukti Ali hal ini sebenarnya tidak boleh terjadi.
Islam harus dipahami secara bulat. Oleh karena itu, bagi metode studi Islam
yang sudah terlanjur hendaknya diajarkan
Al-Quran dan Sejarah Islam secara komprehensif.
Dengan demikian kita dapat memperoleh pengetahuan tentang islam secara
bulat dan utuh.
Mukti Ali yakin bahwa dengan itu kita akan dapat meletakkan
dasar yang paling kokoh untuk ekspansi dan perkembangan pemikiran islam selain
dari pada itu, dengan pengertian yang utuh terhadap islam akan membawa kita
untuk memahami masyarakat secarautuh pula, dengan meluaskan jalan kearah
pengokohan ummatan wahiddin, ummatut tauhid.[10]
Selain itu, selama ini, pendekatan terhadap agama Islam
masih sangat pincang. Ahli-ahli Ilmu pengetahuan termasuk dalam hal ini para
orientalis, mendekati Islam dengan Metode Ilmiah saja. Akibatnya ialah bahwa
penelitiannya itu menarik tapi sebenarnya mereka tidak mengerti Islam secara
utuh. Yang mereka ketahui hanya eksternalitis (segi-segi luar) dari Islam saja.
Sebaliknya, para ulama kita sudah terbiasa memahami ajaran islam dengan
doktriner dan dogmatis, yang sama sekali tidak dihubungkan dengan
kenyataan-kenyataan hidup dalam
masyarakat. Akibatnya ialah penafsirannya itu tidak dapat diterapkan
dimayarakat. Inilah sebabnya orang memiliki kesan bahwa Islam sudah ketinggalan
jaman dan tidak sesuai dengan alam pembanngunan ini. Oleh karena itu menurut
pendapat Mukti Ali keduanya baik pendekatan ilmiah maupun doktriner harus
digunakan bersama. Pendekatan ini lah yang ia sebut dengan metode sintesis.[11]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1.
Metode adalah suatu
ilmu yang memberi pengajaran tentang sistem dan langkah yang harus ditempuh
dalam mencapai suatu penyelidikan keilmuan.
2.
Penguasaan metode yang tepat dapat menyebabkan seseorang
mengembangkan ilmu yang dimilikinya. Sebaliknya mereka yang tidak menguasai
metode hanya akan menjadi konsumen ilmu, dan bukan menjadi produsen.
3.
Mempelajari
islam dengan segala aspeknya tidaklah cukup dengan metode ilmiah saja atau pun
dengan jalan doktriner saja karena Islam adalah
suatu agama yang utuh.
4. Terdapat dua metode yang fundamental
untuk memahami agama Islam, yaitu harus mempelajari dua dasar yaitu Al Qur’an
dan Assunnah
5. Metode
Tipologi oleh banyak ahli
sosiologi dianggap objektif berisi klasifikasi topik dan tema sesuai dengan
tipenya, lalu dibandingkan dengan topic dan tema yang mempunyai tipe yang sama
yang nantinya dari sit akan mendapatkan pengetahuan yang menyeluruh.
6.
Menurut Mukti Ali Islam
harus dipahami secara bulat. Oleh karena itu, bagi metode studi Islam yang
sudah terlanjur hendaknya diajarkan
Al-Quran dan Sejarah Islam secara komprehensif.
Dengan demikian kita dapat memperoleh pengetahuan tentang islam secara bulat
dan utuh.
DAFTAR PUSTAKA
1.
http://pasaronlineforall.blogspot.com/2010/12/h-mukti-ali.html di unduh pada tgl
24-11-2012 pukul 12.30 WIB.
2.
Ali, A. Mukti. 1987. Metode Memahami Agma Islam. Jakarta: PT Bulan Bintang.
3.
Nata, H. Abuddin. 2009. Metodologi Studi Islam. Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada.
4.
Ali, A. Mukti. 1991. Memahami
Beberapa Aspek Ajaran Islam. Yogyakarta:
Mizan.
[1]msitadriskimia.blogspot.com/.../metodologi-pemahaman-islam-di-indonesia.html
[2]salafiahmodern.blogspot.com/.../metodologi-studi-islam_17.html
[3] H.
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, hal. 146-148
[4] A.
Mukti Ali, Memahami Beberapa Aspek Ajaran Islam,(Yogyakarta: Mizan,
1991) hlm. 19
[5]
Mukti Ali. Metode Memahami Agama Islam. hal 26
[6]
Ibid Hal 31-32
[7]
Ibid Hal 33-34
[8] H.
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, hal. 157-159
[9]
Ibid Hal 37-43
[10] Ibid
Hal 35-36
[11]
Ibid Hal 32