Rabu, 17 April 2013


METODE MEMAHAMI AJARAN ISLAM (MUKTI ALI)
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
Dalam keseharian seiring dengan perkembangan paradigma (cara berpkir) dalam masyarayakat muncul pula berbagai metode pemikiran dalam memahami ajaran agama Islam baik itu ada yang tekstual maupun kontekstual,sekulari, pluralis dll.  Dengan itu, maka tak jarang dalam kehidupan bermasyarakat sering terjadi perbedaan pendapat mengenai ajaran agama islam dan pengaplikasiannya dalam masyarakat. Semua itu menjadi sebauah warna yang unik dalam perkembangan keilmuan agama Islam dari masa ke masa sejak zaman Nabi sampai zaman modern seperti saat ini.
Sebagai salah seorang yang berpengaruh karena beliau pernah menjabat sebagai Menteri Agama tentunya Mukti Ali juga banyak memberikan kontribusi pemikiran dan pendapat yang memberikan pencerahan dalam ranah pemikiran agama Islam. Diantaranya juga ada berbagai pendekatan yaitu pertama naqli (tradisional), yang kedua adalah pendekatan secara aqli (rasional) dan yang ketiga adalah pendekatan secara kasyfi (mistis). Maka untuk menyikapi beberapa warna pemikiran ini perlu diadakan studi Mukti Ali memberikan beberapa penawaran pemikiran agar dalam memahami ajaran agama Islam umat tidak akan tersesat dan memahami ajaran agama Islam dengan benar.
B.     Rumusan masalah
1.      Apa sajakah warna pemikiran mengenai cara memahami ajaran agama Islam ?
2.      Apa hasil pemikiran yang ditawarkan oleh Mukti Ali ?
3.      Apa Kritik Mukti Ali terhadap Metode Memahami Agama Islam di Indonesia ?
4.      Apa sajakah metode yang diutarakan Mukti Ali dalam pemikirannya ?






BAB II
PEMBAHASAN

A.    Biografi Singkat Prof. Dr. H. Abdul Mukti Ali
Prof. Dr. H. Abdul Mukti Ali (lahir di Cepu, 23 Agustus 1923). Beliau adalah mantan Menteri Agama Kabinet Pembangunan II periode 1973-1978. Sejak berumur delapan tahun, Mukti menjalani pendidikan Belanda di HIS. Ketika berumur 17 tahun, ia melanjutkan pendidikan di Pondok Pesantren Termas, Kediri, Jawa Timur. Mukti Ali kemudian melanjutkan studi ke India setelah perang dunia ke dua. Ia menyelesaikan pendidikan Islam di India dengan memperoleh gelar doktor sekitar tahun 1952. Setelah itu, ia melanjutkan kembali studinya ke McGill University, Montreal, Kanada mengambil gelarMA.
Semasa hidupnya, Mukti Ali telah menulis beberapa buku seperti : Beberapa Persoalan Agama Dewasa ini, Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia, Muslim Bilali dan Muslim Muhajir di Amerika, Ijtihad dalam Pandangan Muhammad Abduh, Ahmad Dahlan, Muhammad Iqbal, Ta`limul Muta`alim versi Imam Zarkasyi, Memahami Beberapa Aspek Ajaran Islam, Asal Usul Agama, dan Alam Pikiran Islam Modern .
Abdul Mukti Ali meninggal dunia dalam usia 81 tahun pada tanggal 5 Mei 2004, sekitar pukul 17.30 di Rumah Sakit Umum Dr. Sardjito, Yogyakarta. Jenazahnya dimakamkan di pemakaman keluarga besar Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga di Desa Kadisoko, Kecamatan Kalasan, Kabupaten Sleman.[1]

B.     Pengertian Metodologi
Menurut bahasa (etimologi), metode berasal dari bahasa Yunani, yaitu meta (sepanjang), hodos (jalan). Jadi, metode adalah suatu ilmu tentang cara atau langkah-langkah yang di tempuh dalam suatu disiplin tertentu untuk mencapai tujuan tertentu. Metode berarti ilmu cara menyampaikan sesuatu kepada orang lain. Metode juga disebut pengajaran atau penelitian.
Menurut istilah (terminologi), metode adalah ajaran yang memberi uraian, penjelasan, dan penentuan nilai. Metode biasa digunakan dalam penyelidikan keilmuan

Metode adalah suatu ilmu yang memberi pengajaran tentang sistem dan langkah yang harus ditempuh dalam mencapai suatu penyelidikan keilmuan. Dalam berbagai penelitian ilmiah, langkah-langkah pasti harus ditempuh agar kelogisan penelitian ilmiah benar-benar nyata dan dapat dipercaya semua masyarakat. Metode juga dapat diartikan sebagai cabang logika yang merumuskan dan menganalisis prinsip-prinsip yang tercakup dalam menarik kesimpulan logis untuk membuat konsep.[2]

C.    Pentingnya Mempelajari Metodologi
Mukti Ali mengatakan bahwa yang menentukan dan membawa stagnasi dan masa kebodohan atau kemajuan bukanlah karena ada atau tidak adanya orang-orang jenius, melainkan karena metode penelitian dan cara melihat sesuatu. Untuk ini kita dapat mengambil contoh yang terjadi pada abad keempat belas, lima belas dan enam belas Masehi. Aristoteles (384-322 SM) sudah tentu jauh lebih jenius dari Francis Bacon (1561-1626), dan plato (366-347 SM) adalah lebih jenius dari Roger Bacon (1214-1294). Dalam hal tersebut dua orang Bacon itu menjadi faktor dalam kemajuan sains, sekalipun kedua orang itu jauh lebih rendah jeniusnya dibandingkan dengan Plato dan Aristoteles, sedangkan orang-orang jenius itu tidak bisa membangkitkan Eropa abad pertengahan, bahkan menyebabkan stagnasi dan kemandegan.
Ada pertanyaan mengapa orang-orang jenius menyebabkan kemandegan dan stagnasi di dunia, sedangkan orang-orang yang biasa-biasa saja dapat membawa kemajuan-kemajuan ilmiah dan kebangkitan rakyat? Mukti Ali menjawab sebabnya adalah karena orang-orang yang biasa-biasa saja itu menemukan metode berpikir yang benar dan utuh, sekalipun kecerdasannya biasa, mereka dapat menemukan kebenaran. Sedangkan pemikir-pemikir jenius yang besar, apabila tidak mengetahui metode yang benar dalam melihat sesuatu dan memikirkan masalah-masalahnya, maka mereka tidak akan dapat memanfaatkan kejeniusannya.  Uraian tersebut sama sekali bukan dimaksudkan untuk merendahkan orang-orang jenius, melainkan yang ingin dikatakan bahwa untuk mencapai suatu kemajuan, kejeniusan saja belum cukup, melainkan harus dilengkapi dengan ketepatan memilih metode yang akan digunakan untuk kerjanya dalam bidang pengetahuan. Metode yang tepat adalah masalah pertama yang harus diusahakan dalam pelbagai cabang ilmu pengetahuan. Kewajiban pertama bagi setiap peneliti adalah memilih metode yang paling tepat untuk riset dan penelitiannya. Selain itu penguasaan metode yang tepat dapat menyebabkan seseorang mengembangkan ilmu yang dimilikinya. Sebaliknya mereka yang tidak menguasai metode hanya akan menjadi konsumen ilmu, dan bukan menjadi produsen.[3]

D.    Berbagai metode memahami ajaran Islam
Jika kita mempelajari cara orang mendekati dan memahami Islam, maka tanpa ada tiga cara yang jelas. Tiga pendekatan itu adalah pertama naqli (tradisional), yang kedua adalah pendekatan secara aqli (rasional) dan yang ketiga adalah pendekatan secara kasyfi (mistis). Saya rasa (Mukti Ali) tiga pendekatan ini sudah ada dalam pikiran Nabi Muhammad saw., dan terus dipergunakan oleh ulama-ulama Islam setelah beliau wafat. Kadang-kadang ada pendekatan yang sangat menonjol pada suatu ketika, kemudian surut dan diganti dengan pendekatan lain, tetapi bagaimana pun juga, meskipun dalam tingkatan yang berbeda-beda, tiga pendekatan itu terdapat dalam cara ulama-ulama Islam berusaha memahami agama Islam.[4]
Kewajiban para intelektual Muslim dewasa ini adalah untuk meyakini dan mengetahui islam sebagai agama yang memberikan hudan dan petunjuk pada manusia, baik individu maupun masyarakat, dan bahwa islam menjanjikan jalan lempang pada kehidupan umat manusia sekarang ini dan di masa-masa yang akan datang. Intelektual harus merenungkan dan menggali islam secara baru dari segi mana ia nelihat. Hal itu disebabkan karena islam adalah serba dimensi dan mempunyai berbagai macam aspek, hingga tiap orang yang berusaha memelajari Islam akan memeroleh pandangan dan petunjuk yang baru dari bidang studynya.[5]
Ada beberapa cara memahami ajaran Agama Islam, diantaranya yaitu:
1.      Metode Ilmiah
Dalam mempelajari dan mengetahui Islam kita kenal metode orang-orang Barat yang meneliti Islam, yaitu metode naturalis, psikologis, dan sosiologis. Kita harus memelajari metode-metode ilmiah yang digunakan oleh orang-orang Barat itu, akan tetapi bukan merupakan suatu keharusan untuk mengikuti metode-metode itu.
Dewasa ini metode-metode ilmiah dalam segala cabang ilmu pengetahuan telah mengalami perubahan, dan pendekatan-pendekatan baru telah ditemukan. Jadi metode-metode baru harus dipilih dalam penyelidikan tentang agama.
Islam adalah agama yang bukan mono- dimensi, oleh karena itu satu metode saja tidak cukup untuk mempelajari islam. Islam adalah bukan agama yang hanya didasarkan kepada intuisi mistis dari manusia dan terbatas pada hubungan antara manusia dengan Tuhan. Ini hanya merupakan salah satu dimensi dari agama Islam. Untuk mempelajari dimensi ini, metode filosofis harus digunakan, karena hubungan manusia dengan Tuhan dibahas dalam filsafat, dalam arti dalam pemikiran metafisis yang umum dan bebas. Dimensi lain dari agama islam adalah masalah kehidupan manusia di bumi ini. Untuk memahami dimensi ini harus dipergunakan metode-metode yang selama ini dipergunakan dalam ilmu alam. Lalu Islam juga suatu agama yang membentuk masyarakat dan peradaban . Untuk mempelajari dimensi ini maka metode sejarah dan sosiologi harus dipergunakan. 
Selain itu karena Islam adalah suatu agama maka metode-metode tersebut harus ditambah dengan  doktriner. Walau bagaimana pun mempelajari islam dengan segala aspeknya tidaklah cukup dengan metode ilmiah saja atau pun dengan jalan doktriner saja.[6]

2.      Metodologi Ali Syari’ati
Ali Syariati mencoba membandingkan agama dengan manusia. Cara untuk mengetahui manusia besar itu hanya ada dua jalan, dan kedua jalan itu harus dipergunakan bersamaan  untuk memeroleh hasil yang sebenarnya, yaitu mengerti orang yang dibahas itu. Cara yang pertama adalah penelitian tentang pikiran dan keyakinannya. Dan yang kedua adalah penelitian tentang biografinya sejak dari permulaan sampai akhir.
Begitu juga dengan Agama. Terdapat dua metode yang fundamental untuk memahaminya. Pertama adalah  mempelajari kitab sucinya, dalam Islam Al- Quran merupakan himpunan ide dan output ilmiah atau literer yang merupakan dasar dari ajaran- ajarannya yang ditawarkan kepada manusia. Adapun biografi agama adalah sejarahnya, untuk memahami Islam kita harus mempelajari sejarah islam  sejak dari permulaan misi Nabi Muhammad SAW hingga sekarang ini.[7]

3.      Metode Tipologi
Metode lain untuk memahami Islam yang diajukan Mukti Ali adalah Metode Tipologi. Metode ini oleh banyak ahli sosiologi dianggap objektif berisi klasifikasi topik dan tema sesuai dengan tipenya, lalu dibandingkan dengan topic dan tema yang mempunyai tipe yang sama. Pendekatan ini digunakan oleh sarjana-sarjana Barat untuk memahami ilmu-ilmu manusia. Dalam hal Agama Islam, juga agama-agama lain kita dapat mengidentifikasikan lima aspek atau ciri dari agama itu, lalu dibandingkan dengan aspek dan ciri yang sama dari agama-agama lain[8]:
a.      Aspek Ketuhanan
Agar dapat mengetahui lebih luas tentang Islam, yang perlu kita ketahui pertama adalah Tuhan. Untuk mengenal dengan betul cirri-ciri Tuhan, kita harus kembali kepada Al-Quran yang telah menerangkan dengan jelas sifat-sifat Tuhan, juga hadis Nabi, serta keterangan dari pemikir- pemikir besar Muslim dalam bidang itu. Lalu kita bandingkan konsepsi tentang Allah itu dengan tuhan dalam agama-agama lain.
b.      Aspek Kitab Suci
Tingkat kedua untuk mengetahui Islam adalah mempelajari Kitab sucinya yaitu Al-Quran. Orang harus mengetahui Al-Quran itu kitab apa dan masalah-masalah apa saja yang digarap oleh Al-Quran itu dan bagaimana caranya. Setelah itu kita bandingkan Al-Quran dengan kitab-kitab  suci agama lain.
c.       Aspek Kenabian
Tingkat ketiga dalam usaha untuk memahami agama Islam adalah mempelajari pribadi Nabi Muhammad saw. sebagai nabi dan membandingkannya dengan nabi-nabi dan pendiri- pendiri agama lain.
d.      Aspek Suasana dan Situasi dimana Nabi bangkit
Tingkat keempat untuk memahami Agama Islam adalah dengan meneliti waktu, suasana, dan situasi bangkitnya seorang nabi. Setelah itu membandingkan dengan situasi dan kondisi turunnya nabi pada agama lain. 
e.       Aspek Orang- orang terkemuka
Tingkat kelima dalam memahami agama Islam adalah dengan meneliti orang-oranng terkemuaka, atau individu-individu terpilih yang dihasilkan oleh agama itu. Misalnya keempat sahabat Nabi Muhammad saw. Dengan mempelajari kehidupan dan ide-ide empat orang tersebut kurang lebih dapat mewakili corak dan tingkatan masyarakat yangn pertama kali didakwahi oleh Nabi. Orang dapat memahami akibat-akibat yang ditimbulkan oleh risalah Nabi Muhammad.[9]
E.     Kritik Mukti Ali terhadap Metode Memahami Agama Islam di Indonesia
Metode mempelajari islam yang berlaku di Indonesia masih terbagi- bagi menjadi tauhid, fiqih, akhlak, tasawuf, tarikh, tafsir, hadis, dan sebagainya. Tiap cabang ilmu itu diajarkan sesuai dengan tingkatan orang yang diajar, lebih tinggi tingkatannya, lebih luas uraiannya. Meskipun tafsir Al- Quran dan Sejarah islam juga diajarkan, tetapi hanya sebagai bagian dari Ilmu Agama islam saja, jadi seperti cabang- cabang Ilmu agama Islam yang lain.
Hasilnya adalah pengetahuan tentang Islam yang tidak bulat.orang yang mendalami tasawuf seringkali menganggap remeg tentang fiqih, dan orang yang ahli fiqih tidak jarang merendahkan tasawuf. Begitu juga orang yang mendalami filsafat seringkali merendahkan antropologi, sosiologi, dan sebagainya, dan tidak jarang parng yang mendalami antropologi dan sosiologi memicingkan mata sebelah terhadap fiqih, hadis, dan sebagainya.
Menurut Mukti Ali hal ini sebenarnya tidak boleh terjadi. Islam harus dipahami secara bulat. Oleh karena itu, bagi metode studi Islam yang sudah terlanjur hendaknya  diajarkan Al-Quran dan Sejarah Islam secara komprehensif.  Dengan demikian kita dapat memperoleh pengetahuan tentang islam secara bulat dan utuh.
Mukti Ali yakin bahwa dengan itu kita akan dapat meletakkan dasar yang paling kokoh untuk ekspansi dan perkembangan pemikiran islam selain dari pada itu, dengan pengertian yang utuh terhadap islam akan membawa kita untuk memahami masyarakat secarautuh pula, dengan meluaskan jalan kearah pengokohan ummatan wahiddin, ummatut tauhid.[10]
Selain itu, selama ini, pendekatan terhadap agama Islam masih sangat pincang. Ahli-ahli Ilmu pengetahuan termasuk dalam hal ini para orientalis, mendekati Islam dengan Metode Ilmiah saja. Akibatnya ialah bahwa penelitiannya itu menarik tapi sebenarnya mereka tidak mengerti Islam secara utuh. Yang mereka ketahui hanya eksternalitis (segi-segi luar) dari Islam saja. Sebaliknya, para ulama kita sudah terbiasa memahami ajaran islam dengan doktriner dan dogmatis, yang sama sekali tidak dihubungkan dengan kenyataan-kenyataan hidup dalam  masyarakat. Akibatnya ialah penafsirannya itu tidak dapat diterapkan dimayarakat. Inilah sebabnya orang memiliki kesan bahwa Islam sudah ketinggalan jaman dan tidak sesuai dengan alam pembanngunan ini. Oleh karena itu menurut pendapat Mukti Ali keduanya baik pendekatan ilmiah maupun doktriner harus digunakan bersama. Pendekatan ini lah yang ia sebut dengan metode sintesis.[11]





BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
1.      Metode adalah suatu ilmu yang memberi pengajaran tentang sistem dan langkah yang harus ditempuh dalam mencapai suatu penyelidikan keilmuan.
2.      Penguasaan metode yang tepat dapat menyebabkan seseorang mengembangkan ilmu yang dimilikinya. Sebaliknya mereka yang tidak menguasai metode hanya akan menjadi konsumen ilmu, dan bukan menjadi produsen.
3.      Mempelajari islam dengan segala aspeknya tidaklah cukup dengan metode ilmiah saja atau pun dengan jalan doktriner saja karena Islam adalah suatu agama yang utuh.
4.      Terdapat dua metode yang fundamental untuk memahami agama Islam, yaitu harus mempelajari dua dasar yaitu Al Qur’an dan Assunnah
5.      Metode Tipologi oleh banyak ahli sosiologi dianggap objektif berisi klasifikasi topik dan tema sesuai dengan tipenya, lalu dibandingkan dengan topic dan tema yang mempunyai tipe yang sama yang nantinya dari sit akan mendapatkan pengetahuan yang menyeluruh.
6.      Menurut Mukti Ali Islam harus dipahami secara bulat. Oleh karena itu, bagi metode studi Islam yang sudah terlanjur hendaknya  diajarkan Al-Quran dan Sejarah Islam secara komprehensif.  Dengan demikian kita dapat memperoleh pengetahuan tentang islam secara bulat dan utuh.
                                                                                                                           




DAFTAR PUSTAKA
1.      http://pasaronlineforall.blogspot.com/2010/12/h-mukti-ali.html di unduh pada tgl 24-11-2012 pukul 12.30 WIB.
2.      Ali, A. Mukti. 1987. Metode Memahami Agma Islam. Jakarta: PT Bulan Bintang.
3.      Nata, H. Abuddin. 2009. Metodologi Studi Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
4.      Ali, A. Mukti. 1991. Memahami Beberapa Aspek Ajaran Islam. Yogyakarta: Mizan.














[1]msitadriskimia.blogspot.com/.../metodologi-pemahaman-islam-di-indonesia.html

[2]salafiahmodern.blogspot.com/.../metodologi-studi-islam_17.html
[3] H. Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam,  hal. 146-148
[4] A. Mukti Ali, Memahami Beberapa Aspek Ajaran Islam,(Yogyakarta: Mizan, 1991) hlm. 19
[5] Mukti Ali. Metode Memahami Agama Islam. hal 26
[6] Ibid Hal 31-32
[7] Ibid Hal 33-34
[8] H. Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, hal. 157-159
[9] Ibid Hal 37-43
[10] Ibid Hal 35-36
[11] Ibid Hal 32

ISLAM DAN KEBAHAGIAAN
BAB I
PENDAHULUAN
Kebahagiaan hidup merupakan sesuatu yang pasti menjadi cita–cita semua orang dalam hidupnya. Kebahagiaan itu dapat berupa keberhasilan seseorang dalam menjalankan tugas dan kewajiban yang dimiliki dengan baik serta benar maupun keberhasilan dalam menghindari penderitaan (musibah). Kebahagiaan seseorang dapat ia raih dari kemampuan dan tidaknya orang tersebut memenuhi kebutuhan keinginannya (dalam bentuk positif), berangkat dari kata hatinya yang tulus dan murni.
Kebahagiaan sesorang dapat berbeda-beda bentuk yang diinginkannya antara satu orang dengan orang yang lainnya. Karena bahagia bisa dikatkan relatif dan hal itu diakibatkan oleh adanya perbedaan persepsi, filosofi hidup, dan  prinsip hidup masing-masing orang. Akan tetapi, semua orang akan sepakat bahwa kebahgiaan adalah ketika ia mendapatkan apa-apa yang ia inginkan baik di dunia maupun di akhirat. Oleh karena itu muncul sebuah kata-kata plesetan “kecil dimanja, muda foya-foya, tua kaya raya, mati masuk surga”.
Rumusan masalah
Pada makalah ini kurang lebih nantinya akan dibahas mengenai identifikasi masalah dari hakikat kebahagiaan itu sendiri, dan berbagai masalah yang ada dalam usaha sesorang mencapai kebahagiaan dan berbagai jenis kebahagiaan dari beberapa sudut pandang.
1.      Apa itu kebahagiaan?
2.      Bagaimanakah makna kebahagiaan menurut para ahli?
3.      Apa sajakah faktor pendukung datangnya kebahagiaan seseorang?
4.      Apakah penghalang kebahagiaan seseorang?
5.      Bagaimana konsep kebahagiaan menurut ajaran agama Islam?


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Makna Kebahagiaan
Bahagia dan sejahtera adalah relatif. Semua orang akan memberikan komentar yang tidak sama tentang konsep kebahagiaan itu sendiri, baik faktor kebahgiaan itu sendiri ataupun penyebab sebuah kebahgiaan. Bahagia dapat dikatakan oleh orang yang tidak menempati bahwa yang dilihat itu adalah tempat bahagia, atau dapat dikatakan dan dirasakan dalam bayangan kalau yang dideritanya hilang dari dirinya.
Kebahagiaan ialah suatu keadaan perasaan aman damai serta gembira. Dengan kata yang lain, kebahagiaan melebihi hanya perasaan kegembiraan. Umumnya, kegembiraan amat berkait dengan sesuatu kejadian atau pencapaian yang khusus, sedangkan kebahagiaan berkait dengan keadaan yang lebih umum seperti kesenangan hidup atau kehidupan berumah tangga. Bagaimanapun, kedua-dua perasaan ini adalah amat berkait dan juga amat subjektif. (http://ms.wikipedia.org/wiki/Kebahagiaan)
Kebahagiaan seseorang tidak dapat diukur atau digambarkan, dan berubah-ubah mengikuti peredaran masa dan tempat. Orang yang kelihatan bahagia tidak semestinya bahagia, dan orang yang kelihatan tidak bahagia tidak semestinya tidak bahagia. Cuma orang itu sendiri yang tahu (yaitu berasa) sama ada dia bahagia atau tidak.
B.     Makna kebahagiaan menurut para ahli
Definisi kebahagiaan menurut Puspoprojo adalah keinginan yang terpuaskan karena disadari memiliki sesuatu yang baik secara lebih spesifik ia memfokuskan pendapatnya pada konsep seseorang dapat merasa puas dan pasti mampu membatasi keinginan-keinginannya dengan membuat kompromi yang bijaksana. Tetapi, ada satu hal penting yang menurutnya perlu diberi perhatian khusus adalah bahwa kepuasan jasmani semata bukanlah kebahagiaan. Kebahagiaan adalah keadaan subjektif yang menyebabkan seseorang merasa dalam dirinya ada kepuasan keinginannya dan menyadari dirinya memiliki sesuatu yang baik. Keadaan semacam itu hanya ada dalam sesuatu yang mampu merenungkan dirinya dan sadar akan dirinya, yaitu makhluk yang berakal budi.
Kebahagiaan tidaklah sama dengan kegembiraan atau kesenangan. Kebahagiaan adalah suatu keadaan yang berlangsung (a lasting condition) dan bukanlah suatu perasaan atau emosi yang berlalu. Secara umum boleh jadi seseorang merasa bahagia meskipun ia sedang menderita kesedihan, demikian pula seseorang yang mengalami ketidakbahagiaan yang kronis juga bisa mengenal saat-saat gembira. Juga kebahagiaan bukanlah suatu disposisi atau sikap jiwa yang riang gembira, meskipun tidak disangkal bahwa hal-hal tersebut bisa menolong ke arah kebahagiaan. Sebab sebagian orang dapat memiliki perilaku demikian meskipun dalam menghadapi kekecewaan.
Filsafat moral memandang kebahagiaan kodrati saja (natural happiness). Kebahagiaan kodrati adalah pemuasan segala hasrat yang termasuk dan muncul dari kodrat telanjang manusia (man’s bare nature).
1.      Aristoteles berpendapat bahwa kebahagiaan bukanlah suatu perolehan untuk manusia dan corak bahagia itu lain-lain dari berbagai ragam, menurut corak dan ragam orang yang mencarinya. Kadang-kadang sesuatu yang dipandang bahagia oleh seseorang, tidak demikian oleh orang lain, sebab kebahagian merupakan suatu kesenangan yang dicapai oleh setiap orang menurut kehendak masing-masing. Ia juga berpendapat bahwa bahagia itu bukan mempunyai arti dari satu kejadian, melainkan berlainan coraknya menurut tujuan masing-masing manusia. Bahagia adalah tujuan akhir tiap-tiap manusia. Pendapat Aristoteles tersebut akan semakin beda apabila dipadukan dengan pendapat Hendrik Ibsen, yang secara mendasar ia frustasi dan kecewa dengan realitas kebahagiaan.
2.      Hendrik berpendapat bahwa mencari kebahagiaan itu hanya menghabiskan umur, karena jalan untuk menempuhnya sangat tertutup. Setiap usaha untuk melangkah ke sana senantiasa memperoleh kecewa, karena mula-mula orang yang menujunya menyangka bahwa perjalanan telah dekat, tetapi secara nyata sangat jauh. Menurutnya, manusia belum pernah mencapai bahagia sebab setiap jalan yang ditempuh menjauhkan jalan manusia kepadanya.
3.      Leo Tolsyoy berargumen bahwa yang menjadi sebab manusia putus asa di dalam mencari kebahagiaaa ialah karena bahagia itu diambilnya untuk dirinya sendiri bukan untuk bersama. Padahal segala bahagia yang diborong untuk sendiri itu mustahil berhasil karena bahagia semacam itu selalu mengganggu kebahagiaan orang lain. Orang lain yang terganggu akhirnya responsif jika ia tersinggung dan berusaha mempertahankan diri oleh sebab itu bukan lagi menuntut bahagia memberi keuntungan, tetapi memberi kerugian bersama, pendapat Tolstoy ini mendapat pengakuan dari Bertrand Russel dan George Bernard Snaw.
4.      Louis O.Kattsoff mengkaji kebahagiaan dengan mengkorelasikan etika. Diawal kajiannya ia suatu ajaran yang mendasarkan diri pada suatu tujuan. Tujuan berupa keselamatan abadi dan suatu teori yang memberi titik berat pada kenikmatan atau kebahagiaan dikatakan bersifat hedonistik. Hedonisme adalah suatu teori yang mengatakan bahwa kenikmatan atau akibat-akibat nikmat dalam diri manusia sudah mengandung kebahagiaan.
C.    Faktor pendukung datangnya kebahagiaan
Di bawah ini merupakan beberapa faktor atau hal yang dapat menjadikan kebahagiaan seseorang. Bila beberapa hal di bawah ini dapat terpenuhi oleh manusia, maka dapat dikatakan ia akan mendapatkan kebahagiaan dalam hidupnya.
1.      Berkesempatan dalam menuntut ilmu
Bila seseorang ingin mendapatkan apa yang ia cita-citakan maka  suatu hal yang harus ia usahakan adalah belajar dan mengetahui syarat-syarat untuk mendapatkan apa yang ia inginkan dan salah satunya adalah lewat jalur pendidikan. Dengan prestasi ia akan lebih mudah mendapatkan apa yang ia inginkan.
2.      Berhasil membina keluarga
Mendapatkan keluarga yang bahagia adalah dambaan setiap orang. Oleh karena itu jika seseorang bisa membina keluarga dengan baik, mempunyai anak-anak yang sukses, shalih dan berbakti kepada orang tua adalah kebahgiaan tersendiri. Karena salah satu penolong orang tua ketika ia di akhirat adalah anak yang berbakti kepada orang tua.

D.    Penghalang datangnya kebahagiaan
Dari beberapa orang yang pernah hidup di dunia ini pasti pernah merasakan dan mengeluh tentang penyebab tidak hadirnya suatu kebahagiaan yang sangat mereka harapkan dan diimpikan. Beberapa hal di bawah mungkin adalah penyebabnya, baik itu berasal dari keluarga, lingkungan masyarakat, lingkugan pendidikan dan teruatama adalah nikmatnya beribadah dengan Allah.
1.      Kemiskinan
Kemiskinan atau kefakiran adalah ketidakmampuan usaha seseorang untuk memenuhi kebutuhannya sebagaimana layaknya kebanyakan orang yang tinggal di lingkungan tertentu dan pada saat tertentu pula. Kemiskinan adalah hal klasik yang menjadi masalah kenapa orang tidak bahagia dalam hidupnya.
Kemiskinan merupakan suatu keadaan yang paling tidak diinginkan oleh semua orang. Karena dengan keadaan tersebut orang menjadi serba tidak mampu memenuhi, atau sekedar memuaskan keinginan yang sangat ia dambakan. Walaupun sudah banyak orang yang percaya bahwa kehidupan yang kekal nanti adalah kehidupan akhirat akan tetapi semua orang juga percaya dan meyakini bahwa untuk  menggapai kebahagiaan akhirat juga diawali dengan kebahagiaan di dunia untuk menggapai akhirat.
2.      Perceraian
Mendapatkan dan memiliki keluarga yang langgeng, sakinnah mawaddah wa rahmah  adalah dambaan dari setiap manusia. Akan tetapi karena berbagai macam halangan dan cobaan yang dihadapi, kadang ada satu penyebab kenapa keluarga yang tadinya ia dambakan tidak terwujud, dan salah satu penyebab yang mungkin sering terjadi di kalangan masyarakat adalah perceraian. Hal itu jelas sangat mempengaruhi ketenangan seseorang dalam berumah tangga khususnya dalam membentuk keluarga.
3.      Kejahatan
Merupakan suatu luapan emosi seseorang atas ketidakpuasan atau pelampiasan rasa kesal dan kecewa terhadap suatu realita keadaan yang ia hadapi atau juga dapat diakibatkan oleh penderitaan hidup, tekanan batin, atau pelecehan dan penghinaan oleh sekelompok orang tertentu.
Dilihat dari kondisi pelakunya kejahatan dapat dipicu oleh dua faktor :
Pertama, kurangnya penghasilan untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari. Dia tidak bisa menerima hal ini dengan penuh hikmah. Oleh karena itu, dia tidak bahagia dengan apa yang dihadapinya saat ini
Kedua, karena ambisi negative yang membabi buta, ingin mendapatkan segalanya dengan instant dan cepat dan tidak perlu menunggu waktu lama dengan menghalalkan segala cara apapun itu.[1]

E.     Konsep Kebahagiaan dalam Islam
Pada uraian sebelumnya telah dijelaskan mengenai makna bahagia dan jalan menempuh kebahagiaan dari berbagai sudut pandang. Dan sekarang akan dibahas lebih lanjut lagi konsep kebahagiaan yang diatur dan dijelaskan dalam ajaran agama Islam.
Dalam Islam, pusat segala kebahagiaan adalah saat seseorang bertemu dengan Sang Khaliq. Tentu bukan dengan makna bahwa seseorang harus mati terlebih dahulu untuk menggapai sebuah kebahagiaan, walaupun memang tidak dapat dipungkiri lagi bahwa mati adalah ujung dari setiap perjalanan hidup manusia.
Kunci kebahagiaan umat Islam adalah takwa. Selama seseorang terus bertakwa, sesulit, sebesar apapun coabaan orang pasti akan merasa tenang dan bahagia karena ia telah yakin bahwa Rab-nya selalu ada di sisinya dan selalu siap memberikan bantuan kepadanya ketika ia menghadapi banyak cobaan dan musibah. Baik susah maupun senang ia selalu dekat dengan Rab-nya. Jadi ketenangan dan kebahagiaan adalah bersumber dari Rab-nya yaitu Allah swt.
Kebahagiaan dalam pandangan agama Islam bertumpu pada upaya untuk tidak kecewa dengan apapun yang diterima dari Allah. Sedikit atau banyak tetap disyukuri dan diterima sebagai yang terbaik menurut pilihan Allah swt, dengan kata lain orang harus bersifat qana’ah.
Qana’ah terdiri dari lima aspek yang terkait langsung dengan kehidupan manusia, antara lain:
1.      Menerima dengan rela apa yang diberikan Allah.
2.      Memohon kepada Allah tambahan yang pantas dan tetap berusaha.
3.      Menerima dengan sabar akan ketentuan Allah
4.      Bertawakal kepada-Nya
5.      Tidak tertarik dengan tipu daya kesenangan dunia.
Kelima aspek diatas praktis mengarahkan kita kepada kebahagiaan. Dengan sikap qana’ah, seseorang akan silau dengan prestasi yang telah diraih oleh orang lain tetapi sibuk mengelola dan mengurus apa yang sudah diterimanya dan berusaha mensyukurinya. Demikian pentingnya sikap ini sehingga Rasulullah saw menganggapnya sebagai “harta” yang tidak akan hilang.
Rasulullah bersabda :
القناعة مال لاينفد وكنزلايفنى (رواه الطبرانى)
Artinya :
“Qana’ah adalah harta yang tidak akan hilang dan simpanan yang tidak akan lenyap”
Diperjelas melalui sanad Ibnu Abbas ketika Rasulullah saw menemui para sahabat Anshar beliau bertanya “apakah kalian orang-orang mukmin?” lalu mereka pun diam, lalu Umar Ibnul Khathab berkata, “benar ya Rasulullah,” beliau bertanya lagi, “apakah tanda keimananmu?”, mereka berkata, “kami bersyukur menghadapi kelapangan, besabar menghadapi bencana, dan ridha dengan qadha (ketetapan Allah)
Oleh karena itu, sesuatu yang dapat melanggar dan melawan sunnatullah adalah jika seseorang menginginkan kebahagiaan tetapi tidak mengeluarkan keringat, bermalas-malasan, dan tidur sepanjang hari. Ketenangan tidak diraih dari sana, tetapi dari jiwa yang diisi dengan iman dan takwa dan menyikapi kehidupan ini secara tepat. Berkaitan dengan ini, Hitai’inah, seorang penyair membuat sepatah syair yang memiliki maka yang sangat mendalam yaitu
“Bukanlah kebahagiaan itu pada mengumpulkan harta,
Tetapi takwa kepada Allah itulah dia bahagia
Takwa kepada Allah itulah bekal yang sebaik-baiknya disimpan.
Pada sisi Allah sajalah kebahagiaan bagi orang yang bertakwa”[2]
Dalam suatu penggalan hadits juga disebutkan mengenai penjelasan yang lebih rinci mengenai makna dan hakikat bahagia yang sebenarnya :
وَاِنِ امْرُءٌ يُمْسِى وَيُصْبِحُ سَلِيمًا مِنَ النَاسِ اِلَّا مَا مَضَى لَسَعِيْدٌ
 (الحديث)
Artinya:
“jika petang dan pagi manusia telah mendapatkan aman dan sentosa dari gangguan manusia itulah dia orang yang bahagia”


BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1.      Kebahagiaan ialah suatu keadaan perasaan aman damai serta gembira. Dengan kata yang lain, kebahagiaan melebihi hanya perasaan kegembiraan. Umumnya, kegembiraan amat berkait dengan sesuatu kejadian atau pencapaian yang khusus, sedangkan kebahagiaan berkait dengan keadaan yang lebih umum seperti kesenangan hidup atau kehidupan berumah tangga. Bagaimanapun, kedua-dua perasaan ini adalah amat berkait dan juga amat subjektif
2.      Kebahagiaan seseorang tidak dapat diukur atau digambarkan, dan berubah-ubah mengikuti peredaran masa dan tempat. Orang yang kelihatan bahagia tidak semestinya bahagia, dan orang yang kelihatan tidak bahagia tidak semestinya tidak bahagia.
3.      Kunci kebahagiaan umat Islam adalah takwa. Selama seseorang terus bertakwa, sesulit, sebesar apapun coabaan orang pasti akan merasa tenang dan bahagia karena ia telah yakin bahwa Rab-nya selalu ada di sisinya dan selalu siap memberikan bantuan kepadanya ketika ia menghadapi banyak cobaan dan musibah.















DAFTAR PUSTAKA

1.      Anwar Sanusi. Jalan Kebahagiaan. Gema Insani Press. Jakarta. 2006
2.      S. Ansory. Jalan Kebahagiaan Yang Diridhai. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta . 1997



[1] S. Ansory, jalan kebahagiaan yang diridhai. Hal-139
[2] Anwar Sanusi. Jalan Kebahagiaan. Hal-21