Jumat, 30 Desember 2011

MASALAH DALAM PENDIDIKAN

A. Masalah Masalah Dalam Pendidikan Nasional

Pendidikan Nasional yang berjalan pada saat ini bukan tanpa masalah dan lancar-lancar saja. Akan tetapi, banyak gejolak dan berbagai permasalahan yang timbul dari berbagai sector. Berbagai solusi dan cara telah dicobakan kepada masyarakat untuk menyelesaikn segala masalah itu. Akan tetapi memang dari setiap apa yang diterapkan oleh pemerintah ternyata juga bisa menyelesaikannya. Beberapa masalah yang terjadi adalah ;

1. Ujian Nasional (UN)

Ujian Nasional sebagai subsistem dari sisitem Pendidikan Nasional dipandang sebagai salah satu cara untuk meningkatkan kualitas Pendidikan Nasional yang menerapkan system standar nasional. Prestasi belajar siswa diharapkan bisa meningkat setiap tahunnya karena standar minimal yang ditetapkan tiap tahun berbeda dan terus meningkat.

Dalam prespektif konflik UN malah justru dipandang sebagai pemicu terjadinya ketidak setaraan dalam masyarakat. Karena orang yang lulus dari seleksi UN otomatis mendapat sebuah modal yaitu kecerdasan yang dengan itu orang bisa menempati sebuah posisi strategis dalam masayarakat yang secara tidak langsung memang mempersempit ruang gerak dan posisinya dalam msayarakat. Secara ekstrimnya UN dipandang sebagai ladang seleksi individu. Kemudian akar masalah yang timbul adalah proses belaja selama 3 tahun harus dipertaruhkan dalam tiga hari. Padahal belum tentu mereka yang berhasil melewati pintu seleksi itu benar-benar tahu dan paham akan apa yang ditanyakan dan jawabannya?, atau mereka hanya kebetulan saja karena gambling yang ia lakukan tepat sasaran?. Padahal meraka yang tidak lulus itu belum tentu karena mereka memang benar-benar bodoh akan tetapi dari prespektif lain ada beberapa hal yang mungkin saja terjadi. (1) materi yang keluar dalam UN belum diajarkan, (2) factor psikologis, (3) sakit, (4) kurang teliti, (5) factor teknis, misalnya; tidak menghitamkan jawaban pada LJK dengan benar. Dan semua itu mungkin memang terjadi.

Implikasi sosial UN ;

1. Komersialisasi pendidikan, pada saat ini adalah moment yang memang pas untuk mencari keuntungan dengan mengadakan LBB. Dan ketika itu terjadi sebuah komersialisasi di mana biasanya masyarakat yang tidak mampu tidak bisa mengikuti bimbingan itu.

2. Ketimpangan Status Sosial, seorang guru pengampu materi UN mempunyai nilai jual tinggi dan bisa “lebih makmur”.

3. Dikotomi sekolah favorit dan non favorit, sekolah yang bisa meluluskan siswanya 100% akan dianggap sebagai sekolah favorit.

4. Persepsi salah tentang mata pelajaran

5. Diskriminasi pendidikan nonformal, direkomendasikannya untuk mengikuti kejar paket bagi yang tidak lulus

6. Penyimpangan hakikat dan tujuan pendidikan

7. Penyimpangan hakikat desentralisasi pendidikan,masalah materi yang diberikan kewenangan kepada tiap-tiap guru.

8. Pengkerdilan posisi siswa sebagai individu, kurang diharagainya keunikan dari masing-masing individu.

Setiap kesalahan yang terjadi ketika dilaksanakannya sebuah system pendidikan Nasional yang baru akan menjadikan siswa sebgai korbannya. Oleh karena itu mungkin ada beberapa solusi yang mungkin bisa diterapkan ;

1. Memperbaiki kualitas, dengan memperbaiki kualitas fasilitas sekolah, walaupun itu mungkin bukan satu-satunya.

2. Memperbaiki kurikulum, pengurangan beban materi yang disampaikan. Selain membebani guru sebenarnya itu juga sangat membebani siswa. Bahkan beban belajar siswa SD lebih berat dibandingkan Mahasiswa.

3. Rotasi guru, guru-guru di sekolah favorit berotasi dengan guru-guru disekolah nonfavorit. Di sekolah-sekolah favorit setidaknya ada dua factor yang saling mendukung. (1) input, siswa yang masuk pasti melalui seleksi ketat (anak-anak pilihan), (2) hasil kerja keras seorang guru.

2. Ketidaksetaraan Gender

Gender adalah suatu konsep yang membedakan antara laki-laki dan perempuan pada peran sosialnya dan pembedaan sifat yang didasarkan pada perbedaan diskontruksi oleh masyarakat. Prespektif fungsional tentang gender dalam pendidikan muncul dengan adanya suatu anggapan bahwa perempuan pada dasarnya hanya bertugas untuk mengurusi rumah. Oleh karena itu ada suatu anggapan lagi di masyrakat awam bahwa “buat apa perempuan sekolah tinggi-tinggi, jika nantinya akhirnya akan kembali ke rumah?”. Kemudian ada anggapan lagi bahwa perempuan itu selalu di bawah (di nomor duakan), wanita itu diharuskan untuk selalu tampil cantik, lemah lembut dan halus. Sedangkan laki-laki adalah sosok yang kuat yang akan melindungi wanita. Perempuan tidak dihargai melalui otak atau kecerdasan akan tetapi dari segi fisik. Dan sebaliknya, laki-laki dihargai karena kecerdasan otaknya. Oleh sebab itu, banyak perempuan yang tidak menempuh pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. [Durkheim – Haralambos dan Holborn].

Ada satu kasus lagi tentang masih adanya salah satu bias gender yaitu dalam buku ajar di pelajaran sd bahwa disitu tampak sekali bias gendernya. Dimana, hampir sebagian besar ilustrasi pada setiap gambar masih menunjukkan anak perempuan bekerja di rumah sedangkan laki-laki membantu ayahnya kerja di kebun. Selain berupa gambar penokohan selama ini menunjukkan bahwa permpuan adalah sosok yang lemah lembut, dan laki-laki adalah sosok yang kuat dan suka bekerja keras.

Akan tetapi akhir-akhir ini para peminat studi bias gender sudah bisa menemukan titik terangnya untuk mengangkat harkat dan martabat perampuan kearah kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Ada sebuah asumsi Feminisme Liberal adalah kebebasan (freedom) dan kesamaan (equality) yang berakar pada rasionalitas antara dunia privat dan public. Dalam hal ini mereka para studi bias gender mengatakan bahwa perempuan harus bersiap untuk bersaing dan menjadi perempuan dalam pembangunan (woman in development) dan perempuan diharapakan akan lebih dapat terlihat dalam pembagunan. [Fakih. 2004].

Kemudian, dengan ditemukannya suatu survey di Unsoed bahwa perempuan rata-rata bisa lebih cepat masa studinya dibandingkan dengan laki-laki. Perempuan adalah 8,7 semester dan laki-laki 9,8 semester. Dan hal ini jelas bahwasannya perempuan juga bisa berprestasi sebagaimana layaknya laki-laki.

Ketidaksetaraan gender dalam dunia pendidikan merupakan hasil sosialisasi individu dalam keluarga. Sekolah adalah miniature masyarakat, untuk itu apa yang terjadi di sekolah dapat mewakili apa yang sebenarnya terjadi di masyarakat. Perempuan selalu diposisikan pada pihak yang kurang beruntung dalam relasi gender ini. Perempuan selalu dianggap nomor dua dan posisinya di bawah laki-laki. Perempuan diasosiasikan sebagai sosok yang “feminim”, sedangkan laki-laki adalah sosok yang “maskulin”.

B. Kebijakan Bermasalah

Sebuah kebijakan yang diberikan pemerintah kepada pemerintah tentu sangat mempengaruhi system dan metode yang diterapkan kaitannya dalam nenggapai Tujuan Pendidikan Nasional yaitu mencerdaskan anak bangsa dan sesuai dengan prinsip Undang-Undang Dasar No 20 Tahun 2003 yaitu mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlaq mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab . Oleh karena itu pemerintah dituntut untuk dapat memberikan sebuah solusi yang efektif dan tepat demi tujuan dan cita-cita mulia tersebut.

Pendidikan Nasional memang tak henti-hentinya menuai berbagai permaslahan. Di usianya yang semakin senja, bangsa kita seolah-olah tidak pernah belajar dari pengalaman. Pendidikan nasional bukan lain merupakan suatu lading percobaan atas sebuah kebijakan. Tidakalah mengherankan bila di Negara kita ganti menteri, ganti juga kebijakannya. Ketika pemerintah melakukan perubahan kebijakan, tidak lain masyarakatlah yang dijadikan sebagai kelinci percobaan atas kebijakan-kebijakan baru. Siswa dan orang tua selalu menjadi korban keganasan sebuah kebijakan yang tidak pernah tepat untuk diimplementasikan.

Sejenak mengingat sejarah, bahwa pada tahun 1996 pemerintah mengganti nama SMA menjadi SMU. Hal ini diterapakan sebagai sebagai pembanding dengan SMK. Istilah SMEA, SMKK, dan STMpun disamakan menjadi SMK. Namun dalam beberapa tahun terakhir, ternyata istilah SMU dikembalikan lagi menjadi SMA. Dan sekarang yang menjadi pertanyaan adalah, itu merupakan kemajuan atau kemunduran ??. kemudian apa arti dan manfaat perubahan dari SMA menjadi SMU dan kemudian berubah lagi menjadi SMA?. Apakah dengan mengganti nama itu akan mengubah pendidikan kearah yang lebih baik?. Ternyata tidak juga.

Kemudian kebijakan pemerintah yang terkini adalah perubahan sebuah kurikulum. Dapat dikatakan bahwa hampir setiap beberapa tahun sekali aka ada perubahan kurikulum. Perubahan kurikulum menjadikan guru harus menyesuaikan dengan sebuah paradigma pendidikan baru untuk diimplementasikan. Dan tentu saja para guru harus mengikuti pelatihan agar terbiasa dengan kurikulum yang baru. Selain itu para peserta didik juga mengalami suatu gejolak dan berbagai macam masalah. Dalam hal ini yang paling menonjol adalah pergantian buku-buku pelajaran. Yang akibatnya akan berdampak pada si adik kelas yang tidak dapat memanfaatkan buku-buku milik kakak kelasnya karena isinya berbeda, mesikpun secara subtansi pada intinya artinya sama. Sampul atau kover ditambah dengan kalimat “Kurikulum Berbasis Kompetensi”. Maka harga buku biasanya naik dan terpaksa seorang siswa harus membeli buku baru.

Kurikulum berlabel KBK belum lama diberlakukan. Banyak guru yang belum memahami dengan baik makna dan bagaimana praktik KBK, namun pemerintah kembali meluncurkan kurikulum baru yaitu Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Dan pada hal ini para guru dan terlebih lagi para peserta didik menjadi kelinci percobaan. Bahkan ada sebuah anggapan bahwa “mereka” melakukan percobaan demi percobaan untuk merebut gelar Pahlawan pendidikan.

Pada hakikatnya memang pendidikan Nasional berada dalam tekanan. Beribu masalah yang melanda dunia pendidikan nasional. Dan tentu saja masalah itu tidak terlepas dari berbagai tekanan kekuatan yang melanda pendidikan nasional.

1. Tekanan untuk menerima gelombang globalisasi. Tekanan modernisasi dan globalisasi memaksa pemerintah untuk menyiapkan SDM yang berdaya saing di tingkat internasional. Segala kebijakanpun diarahkan untuk tujuan ini, maka dibentuklah tipe sekolah semacam SBI, bilingual atau kelas internasional. Pendidikan semacam ini ternyata memunculkan ketimpangan sosial, menciptakan ketidak merataan akses pendidikan.

2. Kondisi sosial ekonomi Indonesia yang belum mapan [stabil]. Banyaknya masayarakat yang berada di bawah garis kemiskinan adalah pekerjaan yang sulit diatasi. Pendidikan dan kondisi adalah dua factor yang memiliki kedudukan yang sejajar. Dua factor yang saling mempenagruhi. Untuk itu, kedua komponen tadi harus diberikan perhatian yang serius dengan tidak mempertimbangkan mana yang harus diprimerkan, mana yang harus disekunderkan. Satu hal yang harus kita pegang teguh dan dijadikan acuan adalah; “pendidikan adalah kunci perdaban. Tanpa pendidikan, kemajuan suatu bangsa akan sulit untuk diraih”

3. Budaya KKN yang sulit dihapus. Mentalitas korup juga turut memperparah implementasikan kebijakan di bidang pendidikan. Berbagai kebijakan seringkali mentah, tidak menghasilkan manfaat apapun, bahkan justru merugikan berbagai pihak. Terutama masayarakat menengah ke bawah. Sebenarnya sudah ada suatu Kebijakan yang cukup melegakan masyarakat menengah ke bawah terutama bagi mereka yang secara akademik mempunyai prestasi yang baik yaitu sekolah gratis. Namun, para birokrat yang bermental korup adalah sebauah mimpi buruk bagi mereka masyarakat yang sangat berharap pada kebijakan tadi. Selain itu juga adanya sebuah lembaga pendidikan yang tidak mengimplementasikan kebijakan tadi dengan benar. Meskipun pemerintah menggratiskan sekolah negeri, namun kenyataannya di lapangan sering kali jauh dari harapan. Sekolah negeri yang seharusnya gratis ternyata masih memberlakukan berbagai pungutan liar dengan berbagai alasan. Masalah ini kadang kala masih diperparah dengan mekanisme penerimaan siswa didik baru yang tidak sesuai dengan aturan, misalnya dalam masalah tranparansi. Banyak sekolah yang tidak transparan dalam mengumumkan hasil seleksi penerimaan siswa baru, misalnya melalui amplop atau surat. Mekanisme ini sangat rawan dengan tindak kecurangan atau bahkan KKN. Yang terparah adalah masyarakat tidak memahami secara mendalam makna sebuah pendidikan, mereka lebih mengejar status dari pada subtansi pendidikan itu sendiri. Mereka bahkan rela merogoh kantongnya lebih dalam agar anaknya dapat diterima di sekolah favorit dan unggulan yaitu dengan memasukkan anak mereka ke sekolah yang dikehendaki dengan “jalur belakang”

Ketiga faktor diatas memang memperburuk masalah pendidikan nasional. Boleh dikatakan bahwa memang pendidikan berbeda dengan sector lain. Pendidikan adalah asset, modal pembangunan yang sangat besar. Ketika pendidikan itu diposisikan sebagai sebuah modal maka hasil proses pendidikan tidak secara instant dapat dirasakan keuntungannya. Perlu waktu yang cukup lama untuk dapat menuai hasil dari modal yang telah diinvestasikan lewat suatu pendidikan.

C. Sebuah Solusi Untuk Kebijakan Nasional

Ada satu hal yang harus diperhatikan dalam perumusan kebijakan, yaitu aspek sosiolologis masyarakat. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang sangat plural baik secara vertical maupun horizontal. Secara vertical, terkait dengan masalah ekonomi, pelapisan sosial. Secara horizontal, meliputi masalah kepentingan pribadi dan kelompok, perbedaan kondisi sosial dan budaya. Kepentingan inilah yang sering menyebabkan kebijakan di sector pendidikan sulit diimplementasikan. Kepentingan disini juga termasuk kepentingan elit politik. Banyak kelompok tertentu yang memanfaatkan keuntungan melalui sector pendidikan ini. Budaya, terkait dengan masalah mentalitas masyarakat yang sebagian besar masyarakat lebih menyukai budaya instant. “Yang penting dapat nilai baik, dapat ijazah dan lulus”. Mentalitas inilah yang harusnya menjadi bahan pemikiran. Keberadaan mentalitas ini sebenarnya dilegimitasi oleh adanya kebijakan pemerintah sendiri. Kebijakan ini misalanya mengenai ujian nasional. System ujian ini lebih terpaku pada pada hasil bukan pada proses. Aspek penilaian seharusnya lebih memperhatikan dan melihat proses dan bukan hasil dari proses tersebut. Sekali lagi pendidikan adalah proses pengembangan kemampuan dan perilaku manusia secara keseluruhan [G Terry Page dkk].

Itulah beberapa catatan yang harus mendapat perhatiana dari para penentu kebijakan. Satu hal yang tidak dapat dilupakan adalah harus ada political will dari pembuat kebijakan. Janganlah sebuah kebijakan hanya dijadikan alat untuk meraih kepentingan dari sekelompok orang saja.

Sumber referensi

Martono Nanang, Pendidikan Bukan Tanpa Masalah. Gaya media, Yogyakarta.2011

Tidak ada komentar: